Kalangan pengusaha PBM prihatin dan cemas melihat ketidak-harmonisan organisasi ini (APBMI) yang tak dapat berjalan sebagaimana layaknya organisasi. Bahkan, usaha anggota banyak yang terancam ‘gulung tikar’.
Sejak UU Pelayaran 2008 digulirkan, nasib PBM menjadi kurang membaik, sehingga para PBM menjadi tidak menentu, terutama kesempatan kerja di pelabuhan. Meski begiu, minat PBM untuk tetap menghidupkan organisasi sangat besar.
Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) pada 26-28 Oktober 2016, direncanakan menggelar acara Musyawarah Nasional (Munas) di Padang, Sumatera Barat. Ini menjadi Munas ketujuh organisasi PBM. Pertama tahun 1991 di Preigen Malang terpilih ketua umum Suwandi, kedua tahun 1996 di Makassar terpilih Taufik Siregar, kemudian di Semarang tahun 2001 Taufik Siregar terpilih untuk kedua kali, lalu di Banjarmasin tahun 2006, terpilih ketua umum Bambang Ketut Rachwardi, lalu di Batam 2011 Bambang KR terpilih kembali.
Namun pada dua tahun berjalannya Bambang KR, asosiasi ini sempat rebut-ribut kecil, maka mayoritas anggota menginginkan dilakukan Munaslub. Atas dorongan banyak DPW APBMI digelarlah Munaslub di Semarang tahun 2014, dan terpilih H. Sodik Harjono sebagai Ketua Umum.
Dari sinilah APBMI pecah dua. Satu dibawah ketua umum Sodik Harjono, dan satu lagi dibawah Bambang KR. Karena itu, untuk legalitas organisasi tersebut, keduanya memilih jalur hukum sebagai pihak yang berwenang menentukan siapa yang syah.
Dalam perjalanan berbagai sidang, akhirnya Sodik Harjono dinyatakan oleh Pengadilan negeri menjadi pemenang dan berhak atas APBMI.
Kendati demikian, perlawanan pun tetap dilakukan oleh pihak Bambang KR Cs. Makanya, sulit rasanya untuk APBMI disatukan kembali. Sebagai contoh saja, APBMI di Medan ada dua kubu, di Banjarmasin dua kubu, dan di Surabaya juga demikian, termasuk APBMI Makassar.
Persoalan kedepan dihadapi oleh APBMI cukup berat. Apalagi, PT Pelindo sangat membatasi gerak kinerja PBM. Dan kalau toh PBM bersatu pun belum tentu dapat semanis dulu sebelum ada perubahan Undang-undang Pelayaran.
Jadi, jika pada Munas mendatang yang terpilih sebagai Ketua Umum organisasi ini bukan tokoh yang kuat, baik dari sisi finansial maupun usahanya, akan sangat berat. Sebab, menjadi ketua pada organisasi non profit dipastikan banyak pengorbanan yang keluar secara pribadi.
Apalagi, kita semua tahu bagaimana kondisi dan situasi organisasi PBM ini. Kendati demikian, masih ada harapan dan solusi untuk APBMi keluar dari problematikanya. Misalnya, kedepan menyatukan kembali dua organisasi menjadi satu wadah. Lalu untuk memperkuat roda organisasi, sebaiknya pada situasi sekarang ini diperlukan adanya kesepakatan, kearifan dan kedewasaan dari anggota maupun DPW supaya kepengurusan DPP otomatis juga sebagai DPW DKI Jakarta.
Kalau pemikiran ini dapat diterima semua anggota, maka selamatlah APBMI dari bencana. Tetapi jika tidak, siap-siaplah APBMI ‘mati suri’.
Para anggota di seluruh Indonesia yang memiliki hak pilih, kedepan mesti hati-hati dan cermat dalam menentukan serta memilih ketua umum APBMI mendatang. Dalam AD/ART jelas disebutkan antara lain bahwa calon ketum harus domisili (KTP Jabodetabek), pengusaha PBM.
Namun, sebaiknya untuk menyelamatkan organisasi ini kedepan, yang harusnya menjadi ketua umum mesti dengan kriteria, owner PBM yang aktif di pelabuhan Priok. Sebab, belajar dari pengalaman lalu, dengan ketua adalah owner saja APBMI tidak dapat berjalan mulus. Bagaimana kalau ketuanya tidak mempunyai kriteria tersebut.
Dari info yang berhasil dikumpulkan Ocean Week, ada beberapa calon ketua umum APBMI yang potensial dimasa depan yang beredar. Petahana (H. Sodik Harjono) masih dianggap berpotensi, ada juga H. Tubagus Fuadi (owner Tubagus group), muncul pula nama Oggy Hargiyanto (PBM Escorindo), Aris Hartoyo, dan Sabri Saiman. Tetapi semua kembali kepada anggota, siapa yang kira-kira layak bakal memimpin APBMI yang telah berumur 26 tahun. (***)