Para produsen batubara, perusahaan pemilik floating crane (FC), dan perusahaan bongkar muat (PBM) anggota APBI yang menggunakan pelabuhan alih muat (ship to ship/STS) di Muara Berau Samarinda, protes kenaikan tarif baru yang bakal diberlakukan per 1 Oktober 2023 oleh BUP PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB).
Tarif yang baru tersebut dinilai akan menambah beban biaya shipper sekitar $ 0.82/MT untuk kapal Gearless dan sekitar $ 0,42/MT untuk kapal Geared and Grabbed, dan ini diterima oleh pihak PTB tanpa melakukan layanan jasa.
“Dengan aturan tersebut sebanyak 90 juta ton batubara ekspor maupun domestik per tahun yang proses alih muat batubara (ship to ship transfer atau STS) di Pelabuhan Muara Berau Samarinda, berpotensi terhambat,” ujar Ketua APBI-ICMA Pandu Sjahrir, dalam rilis nya yang diterima Ocean Week, kemarin.
Menurut Pandu, selama ini kegiatan di kegiatan disini (pelabuhan Muara Berau Samarinda) lancar-lancar saja. Tetapi, setelah Kementerian Perhubungan menetapkan rekomendasi tarif jasa kepelabuhanan kepada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) yang merupakan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) di Pelabuhan Muara Berau Samarinda pada tanggal 24 Juli 2023 lalu, dan akan berlaku per 1 Oktober, kondisinya menjadi lain. “Kami protes kenapa nggak dilibatkan dalam penentuan tarif baru itu,” ungkap Pandu.
Menurut Pandu, APBI menolak dengan tegas atas penetapan rekomendasi tarif jasa kepelabuhan oleh Kementerian Perhubungan tersebut, karena ditetapkan secara sepihak oleh Kementerian Perhubungan meskipun sebelumnya masih dalam proses pembahasan (bisnis proses dan tarif) yang melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, PTB dan APBI.
“Dengan penetapan rekomendasi tarif baru ini maka seluruh kegiatan STS di Pelabuhan Muara Berau Samarinda akan di-monopoli oleh PTB,” jelasnya.
APBI, tegasnya, sangat keberatan dengan adanya monopoli dalam bisnis proses dimana bisnis proses yang berjalan saat ini akan berubah sehingga pihak shipper tidak bisa menunjuk langsung pemilik FC atau PBM, namun harus melalui PTB.
Perusahaan keberatan membayar tarif karena berpegang pada prinsip umum di dunia usaha yaitu “no service no pay”.
Selain itu dengan penambahan
beban biaya tersebut akan berpotensi terhadap penurunan penerimaan negara baik melalui pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor energi dan sumber daya mineral.
Sebagian besar pemilik FC hingga saat ini belum melakukan registrasi untuk masuk ke dalam sistem ORBIT yang diaplikasikan oleh PTB yang menjadi prasyarat proses bisnis.
Sementara itu, Plt. Kepala KSOP Samarinda menegaskan kepada pemilik FC bahwa tidak akan memberikan pelayanan kepada pemilik FC jika tidak melakukan registrasi ke PTB sesuai suratnya per tanggal 26 September 2023.
Jika kondisi ini berlanjut hingga tarif diberlakukan per 1 Oktober 2023 maka kemungkinan proses alih muat batubara akan terhambat, sehingga ekspor dan maupun pasokan ke PLN dari Pelabuhan Muara Berau akan terganggu.
APBI juga keberatan tidak diakomodir sebagai pihak yang dilibatkan dalam proses konsultasi usulan tarif jasa kepelabuhanan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 121 Tahun 2018.
Seharusnya APBI yang beranggotakan lebih dari 90 perusahaan pertambangan batubara sebagai shipper merupakan salah satu pihak yang sangat berkepentingan dan bahkan akan sangat dirugikan jika ada usulan penetapan tarif tanpa persetujuan dari APBI.
Pandu Sjahrir meinta kepada pemerintah untuk membantu mencarikan solusi
baik bagi pihak shipper, perusahaan pemilik FC maupun juga pihak PTB agar proses pengapalan batubara dari Muara Berau bisa berjalan lancar dan negara tidak dirugikan.
Pandu Sjahrir menegaskan bahwa penetapan tarif yang memberatkan pelaku usaha tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang mendorong dunia usaha melalui UU Cipta Kerja.
Selain itu, hambatan pengapalan
akibat proses bisnis yang belum disepakati, dapat mengganggu kelancaran logistik ditengah upaya
pemerintah mendorong pengembangan tol laut nasional. (ril/**)