Keputusan pemerintah (Kemenhub) meniadakan Mudik Lebaran tahun 2020 dinilai Gabungan Pengusaha Nasional Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) akan menambah kesulitan usaha kapal penyeberangan di seluruh Indonesia.
Bahkan, 12 perusahaan penyeberangan di lintasan Ketapang-Gilimanuk menyatakan tak kuat lagi membayar para karyawannya. Dan jika hal itu terjadi, ratusan ribu orang yang selama ini menggantungkan hidup di sektor ini bakal terimbas, pengangguran akan semakin membanjiri negeri ini.
“Kami selama ini sudah sangat berat dan babak belur. Kami sangat memahami tujuan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid 19, namun kami tentu sangat berharap kepada Pemerintah (Kemenhub) untuk menjaga keberlangsungan industri Penyeberengan yang bukan hanya sebagai moda transportasi massal, namun yang lebih penting adalah fungsi jembatan berjalan atau infrastruktur transportasi yang mendukung perekonomian Nasional,” kata Khoiri Soetomo, Ketua Umum Gapasdap, menjawab Ocean Week, Kamis pagi (26/3).
Menurut Khoiri, pemerintah wajib memberikan subsidi PSO (public Service obligation), segera melakukan penyesuaian tarif serta menghapus beban beban pungutan pemerintah seperti PNBP maupun pembebasan pajak.
“Ini bertujuan agar saat wabah virus covid 19 selesai maka ekonomi bisa bangkit karena infrastruktur tidak hancur dan hilang. Kami sangat berharap Presiden Jokowi memperhatikan keberlangsungan industri ini,” ujarnya.
Khoiri mengakui kalau saat ini sudah sangat banyak anggota Gapasdap yang tidak kuat lagi membayar gaji dan kewajiban lain karena tarif yang sudah 3 tahun tertunda tunda terus.
Kapal Penyeberangan, ungkap Khoiri, meskipun tidak beroperasi, biaya SDM, BBM dan perawatan tetap harus keluar, karena wajib harus dijaga 24 jam, mesin genset harus menyala dan perawatan docking berdasarkan tahun kalender juga harus.
“Inilah yang membedakan denga industri transportasi lainnya. Kalau kondisinya terus demikian, potensi terjadi pengangguran sangat besar,” jelasnya.
Tak Mampu Bayar
Sementara itu, Ketua DPD Gapasdap Jawa Timur Sunaryo mengungkapkan, jika sebagian besar operator kapal ferry di Ketapang-Gilimanuk tidak mampu lagi membayar gaji karyawan, bahkan untuk membayar bunga bank pun mengalami kesulitan.
“Ada 12 perusahaan yang sudah begitu (tak kuat bayar). Bagaimana ini, siapa yang tanggung jawab? Karyawan sudah resah. Kalau mereka tidak dapat gaji, kapal ferry di Ketapang-Gilimanuk bisa-bisa berhenti operasi, angkutan logistik bisa kacau,” kata Sunaryo.
Sunaryo menceritakan keprihatinannya, apalagi kondisi ekonomi masih lesu, ditambah ada virus corona.
“Biaya di penyeberangan terus naik dan tambah banyak, tetapi tarif tidak naik-naik. Kalau penyeberangan berhenti beroperasi dan tidak mampu lagi bayar gaji, kami khawatir akan ada gejolak besar. Karyawan bakal turun ke jalan demo besar-besaran,” ungkapnya khawatir.
Di tempat terpisah, Ketua Bidang Tarif DPP Gapasdap Rakhmatika Ardianto mengatakan, proses kenaikan tarif penyeberangan hingga saat ini belum jelas, meskipun Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub (Budi Setyadi) sudah memimpin langsung sosialisasi di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, pada 6 Maret 2020 lalu.
“Pemerintah seperti plin-plan, proses perhitungan tarif sudah dibahas hingga 1,5 tahun, bahkan sudah disosialisasikan tetapi tidak juga direalisasikan. Padahal era sebelumnya hanya butuh waktu beberapa bulan saja,” ujarnya.
Menurut dia, Gapasdap telah mengingatkan pemerintah agar segera menetapkan tarif karena semua perusahaan penyeberangan sudah kesulitan menutupi biaya yang sangat besar.
“Tidak heran kalau penyeberangan di daerah-daerah kesulitan. Mereka sudah tidak bisa menjamin kelancaran dan keselamatan pelayaran. Tentu ini sangat berbahaya dan mengganggu kelancaraan logistik di tengah wabah virus corona,” kata Rakhmatika.
Dia menyatakan, bahwa pendapatan perusahaan penyeberangan diketahui oleh pemerintah, sebab penjualan tiket diatur dan dilaksanakan oleh PT ASDP sehingga semuanya transparan.
Perhitungan tarif pun dilakukan secara bersama-sama antara Kemenhub, Gapasdap dan PT ASDP.
Rakhmatika menegaskan, kenaikan tarif penyeberangan merupakan keharusan mengingat biaya terus meningkat setiap tahunnya, antara lain biaya perawatan dan suku cadang kapal yang sebagian besar diimpor melonjak akibat kurs rupiah melemah terhadap dólar AS dan mata uang asing lainnya.
Selain itu, UMR naik 8 persen-10 persen setiap tahun, semakin meningkatnya aturan sertifikasi ABK (anak buah kapal) yang menyebabkan kenaikan biaya SDM, dan biaya pengedokan naik setiap tahun.
Dalam kondisi ini, sektor maritim termasuk penyeberangan dibebani bunga bank yang tinggi, dimana besaran bunganya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan sektor komersial lainnya.
“Bertambahnya aturan-aturan pemerintah, seperti beberapa sertifikasi yang menyebabkan munculnya biaya baru, serta biaya PNBP yang naik sekitar 100 persen-1.000 persen sehingga semakin memberatkan pengusaha penyeberangan,” katanya mengeluh.
Iklim angkutan penyeberangan semakin tidak kondusif karena pemerintah terus mengeluarkan izin operasi untuk kapal-kapal baru, tanpa melihat kapasitas dermaga yang ada. (**)