Implementasi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan yang sampai sekarang masih dinilai memunculkan perdebatan di kalangan dunia usaha kepelabuhanan, antara lain PM 152 tahun 2016 tentang penyelenggaraan dan pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal di Pelabuhan. Lalu PM 53 tahun 2018 tentang Kelaikan Peti Kemas dan Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi (VGM).
Kemudian ada juga PM 25 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan No.PM 116 tahun 2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Utama Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar.
Kalangan usaha meminta supaya Kemenhub melakukan evaluasi kembali terhadap peraturan-peraturan tersebut, karena mereka (dunia usaha) menyatakan dirugikan atas keluarnya kebijakan Kemenhub itu.
PM 152/2016 misalnya, kalangan usaha PBM, terutama yang berkegiatan di pelabuhan di luar Jakarta, memprotes keras terhadap pemberlakuan PM 152 tersebut. Sebab, menurut pengurus APBMI di daerah, PM 152 tersebut berpotensi mematikan usaha PBM, dan semakin menguatkan Pelindo untuk bermain di sektor bongkar muat.
Sebagai bentuk perlawanan dari PBM, melalui APBMI telah melayangkan surat kepada Menhub, dan pihak terkait untuk mengevaluasi PM 152 tersebut. Ketika APBMI Rakernas di Makassar, belum lama ini, mereka juga minta supaya PM 152 dibatalkan.
Tetapi, ketika dilaksanakan FGD mengenai 152/2016 di Jakarta beberapa waktu lalu, yang diselenggarakan Ditjen Hubla, belum menghasilkan kesimpulan. Apakah peraturan itu benar-benar akan dievaluasi atau tidak. Karena, sebenarnya setelah terjadi diskusi panjang, ternyata bukan saja PBM yang dianggap menjadi korban, namun juga BUP konsesi non Pelindo.
Direktur BUP Delta di Jawa Timur, Agus Edi menyatakan bahwa pihaknya tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhannya sendiri. “Kami juga heran, kami yang investasi, kami operator di pelabuhan sediri, kok tidak boleh melakukan kegiatan stevedoring. Kalau begitu, kapan investasi kami kembali,” keluhnya kepada Ocean Week, beberapa waktu lalu.
Capt. Wisnu Handoko, Plt. Direktur Lala Hubla, menyatakan bahwa prinsipnya jika memang perlu ada perubahan di PM 152/2016 mesti tidak saling mematikan. “BUP Pelindo mesti masih memberi kesempatan PBM bekerja di pelabuhan atau Pelndo tak boleh monopoli, tetapi ada juga BUP non Pelindo yang sudah investasi besar untuk membangun infrastruktur pelabuhan baru juga harus diberi kesempatan mengerjakan stevedoring, dan di wilayah ini PBM tak boleh ngotot untuk menang sendiri,” katanya.
Sebenarnya, kalau soal monopoli dalam kegiatan bongkar muat, sebenarnya Pelindo juga tidak seratus persen monopoli. Misalnya di Tanjung Priok, banyak PBM yang bekerja, di Tanjung Emas begitu juga, di Tanjug Perak, dan Belawan pun sama. Lalu di beberapa pelabuhan daerah juga masih ada kesempatan PBM bekerja. Kemungkinan masalahnya hanya pada berapa besaran kontriusi yang harus diberikan PBM kepada Pelindo, dan itu di setiap pelabuhan berbeda besarannya.
Sementara itu, untuk PM 53/2018, ada dua hal yang berbeda. Satu soal kelayakan petikemas yang rencananya baru Januari 2019 diterapkan. Dan satu lagi mengenai VGM, yang sudah diterapkan di sejumlah pelabuhan, seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Tanjung Emas.
Di Tanjung Emas, kata Ketua ALFI Jateng, Ariwibowo, VGM sudah dilaksanakan di terminal petikemas Semarang, atas kesepakatan antara ALFI, INSA, GINSI, dan TPKS. “Untuk pelaksaan ini, kami sepakat menggunakan PT Surveyor Indonesia. Biayanya juga hanya Rp 60 ribu, baik yang 20 feet maupun 40 feet,” katanya kepada Ocean Week.
Sedangkan penerapan VGM di Priok, sempat menuai protes dari Ketua Ginsi Jakarta Capt. Subandi. Menurut dia, sebenarnya VGM tak perlu ada biaya, karena peraturan IMO hanya menyebutkan, Shipper cukup mendeclair berat barang yang dimuat di kontainer. “Boleh bayar kalau ada kelebihan berat, tapi hanya kelebihan beratnya saja yang dibayarkan, bukan dihitung semuanya. Dan mestinya VGM itu bagian dari service terminal,” ungkapnya.
Sementara itu, Capt. Supriyanto, Sekretaris INSA Jaya menyatakan, kalau shipper sudah mendeclare dan beratnya sesuai atau beda masih dalam toleransi, maka shipper tidak bayar biaya penimbangan VGM. “Tapi kalau beratnya beda melebihi toleransi, maka dilakukan penimbangan ulang dab dikeluarkan statement VGM yang baru, ini yang dikenakan bayar. Kenapa bayar, itu sebagai pinalti bahwa deklarasi VGM-nya tidak valid dan harus dikeluarkan sertifikat baru,” ungkapnya.
Menurut Priyanto, untuk shipping line mengacu kepada slogan No VGM no Load, kenapa ini, karena menyangkut kelaiklautan kapal khususnya stabilitas yang sangat terkait dengan akurasi berat masing-masing petikemas yang dimuat keatas kapal.
Untuk PM 53 yang menyoal kelayakan petikemas, para pelaku usaha itu hanya lebih banyak menitik-beratkan pada masalah siapa nantinya yang harus bayar, dan berapa tarifnya.
Cuma, Ketua Umum Asdeki H. Muslan berharap agar kelayakan petikemas tersebut tetap dilaksanakan oleh depo petikemas, karena selama ini depo sudah melakukan itu, dan usaha depo juga sudah siap dengan segalanya.
Sementara untuk PM 25/2017, dinilai dalam pelaksanaannya belum berjalan maksimal, karena masih banyak petikemas menumpuk lama di pelabuhan. Bea Cukai mengaku telah medukung beleid dalam peraturan tersebut, meski petikemas sudah SPPB namun tetap menumpuk di pelabuhan, sebenarnya bukan lagi ranahnya bea cukai, karena itu sudah B to B (bisnis ton bisnis) antara pengelola terminal dengan pemilik barang.
Melihat semua itu, para laku usaha di bidang PBM, pelayaran, maupun yang lain berharap, Kemenhub (Menteri Perhubungan) dapat mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya, sehingga pada saat diimplemetasikan bisa memberi kenyamanan terhadap semua pihak. (***)