DPR RI sedang membahas RUU Omnibus law cipta kerja (Ciptaker). Banyak kalangan usaha yang menanti keluarnya UU tersebut dengan cemas, karena apakah Omnibuslaw itu bakal merugikan atau menguntungkan sektor usahanya, termasuk usaha pelayaran.
Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto kepada pers mengungkapkan harapannya bahwa Omnibus Law Cipta Kerja akan mendorong iklim bisnis pelayaran nasional.
“Kita yakin beleid ini mampu mendongkrak daya saing pelayaran. Kita perlu bersabar, kita tunggu bagaimana proses omnibus law ini di DPR,” kata Carmelita dalam keterangan tertulisnya yang dibagikan kepada para awak media.
Meme (panggilannya) menyatakan bahwa respon publik terhadap omnibus law di sektor pelayaran boleh dilihat sebagai suatu hal yang baik sebagai bentuk perhatian publik terhadap sektor pelayaran nasional. Namun respons itu sebaiknya diutarakan setelah proses Omnibus Law Cipta Kerja selesai dibahas.
“Karena saat ini kan masih berproses. Baiknya kita menanti saja dulu proses dan produk regulasi ini nantinya seperti apa,” katanya.
Terkait sektor pelayaran, menurut Carmelita, pemerintah mengubah pasal 158 draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Pada pasal 158 ayat (2) butir a di mana perubahannya terkait kapal yang dapat didaftarkan dengan ukuran tonase kotor tertentu.
“Ini berubah dari sebelumnya di mana kapal yang dapat didaftarkan dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7,” ungkapnya.
Sedangkan pada pasal 158 ayat (2) butir b dan c tetap sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. “Artinya, perubahan pada pasal 158 tidak seperti informasi yang beredar selama ini,” jelas Meme.
Sebelumnya, sejumlah pengamat mengkritik Omnibus Law Cipta Kerja sektor pelayaran. Ini lantaran isu penghapusan pasal 158 ayat (2) butir c yang menyebutkan bahwa kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Pasal 158 huruf c dianggap sebagai ruh dari asas cabotage yang bermakna kewajiban kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Jika dihapus, maka kapal milik perusahaan hasil joint venture dengan kepemilikan mayoritas asing bisa didaftarkan di Indonesia, dan prinsip cabotage menjadi lemah. Akibatnya, banyak perusahaan angkutan laut nasional yang gulung tikar karena kapal-kapalnya tidak akan mampu bersaing dengan kapal milik perusahaan luar negeri yang masuk ke Indonesia menjadi pemain angkutan laut domestik melalui usaha joint venture.
Pengamat maritim dari Pelayaran PT Samudera Indonesia, Asmari Heri Prayitno mengungkapkan UU Omnibuslaw berpotensi KURANG atau TIDAK menguntungkan pelayaran nasional jika, pertama, hal yang fundamental atau spirit dari UU no 17 tahun 2008 tentang pelayaran yaitu mengenai kepemilikan majoritas baik kapal maupun perusahaan pelayaran kapal tidak lagi dikuasai oleh orang Indonesia atau perusahaan Indonesia (orang /perusahaan Indonesia minimum 51%, atau asing maximum 49%).
Kedua, azas cabotage, angkutan/kegiatan di perairan domestik harus di lakukan oleh kapal berbendera Indonesia.
“Jika kedua hal tersebut di rubah apapun alasan dan pertimbangannya, maka hampir pasti diduga dominasi pelayaran nasional tinggal menunggu waktu dan cepat atau lambat akan berangsur hilang, kembali pada sebelum inpres 2005 dan sebelum UU no. 17 tahun 2008,” tegas Asmari. (***)