Ekspor langsung sebagaimana keinginan Pemerintah provinsi Papua tampaknya masih sulit, karena volume barang yang dihasilkan dari bumi Cenderawasih ini masih sangat kecil, sehingga untuk pengiriman barang juga masih harus transshipment ke Tanjung Perak Surabaya.
“Belum terlalu banyak yang bisa diekspor. Ada ekspor khusus yaitu dari Free Port dan LNG tangguh, itu yang besar dan tidak pernah diekspose karena agak tertutup,” kata Koordinator Alfi Papua dan NTT Muh. Coya kepada Ocean Week per telpon, Selasa (10/1) pagi.
Menanggapi keinginan pemprov Papua tentang ekspor langsung, Coya menyatakan setuju-setuju saja. Cuma, apa yang mau ekspor langsung, karena volumenya belum mendukung. “Jadi kita tetap lewat Surabaya dan juga freight muatan balik ke Surabaya dan Jakarta dari Papua kita berikan/dibebani hanya kl 40 pct dari normal freight oleh pelayaran. Itu lebih murah,” ujarnya.
Coya juga mencontohkan, bahwa masih sulitnya ekspor langsung Papua, sebab komoditi hasil perikanan (ikan kaleng) dan sawn timber pun masih belum cukup. “Ikan segar hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan local Surabaya dan Jakarta, itupun tidak banyak,” tegas Coya.
Sementara itu Asisten Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Papua, Elia Loupatty saat pengiriman ekspor kayu ke shanghai, di Jayapura, Senin (9/1), menyatakan pemerintah Provinsi Papua mengimbau semua pihak mendukung upaya peningkatan ekspor yang dikirim dari Pelabuhan Jayapura atau pelabuhan lain di Bumi Cenderawasih, antara lain memberi kemudahan pelayanan ekspor sesuai ketentuan, meningkatkan volume ekspor yang sudah berjalan, dan penambahan jenis komoditas barang.
“Selain kayu, kedepan pemerintah provinsi mengharapkan ada ekspor bidang perikanan atau perkebunan, peternakan atau apa saja,” katanya.
Elia juga mengatakan, hasil hutan yang sudah di ekspor ke Shanghai, China berasal dari perizinan yang sah bukan ilegal, dimana telah diolah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini dibuktikan dengan kelengkapan dokumen, baik sertifikasi kelestarian, pengelolaan hutan produksi lestari maupun dokumen persyaratan ekspor yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas dan kompetensi.
“Diantara lembaga ini ada yang swasta, tapi memiliki kompetensi untuk menyatakan ini sah atau bisa di ekspor. Tentu ini menjadi pergumulan pemerintah daerah, karena yang mengsahkan itu dari swasta,” ucapnya.
Menurut dia, pembangunan ekonomi di sektor pertanian dalam arti luas harus menggunakan prinsip tanam, petik, olah dan jual, yang berarti harus memperhatikan prinsip keberlangsungan produksi dan manfaat atau kelestarian, kemandirian dan swadaya serta peningkatan nilai tambah sebesar besarnya dengan tetap memperhatikan pemberdayaan orang asli Papua.
Lebih jauh ia jelaskan, selama ini produk hasil bumi Papua sebagian besar diolah diluar dan di ekspor dari pelabuhan luar, sehingga nilai tambah tidak diperoleh daerah dan masyarakat. “Kalau ini terjadi terus menerus, maka masyarakat tidak akan pernah mencapai kemandirian dan kesejahteraan,” katanya.
Oleh karena itu, ujar Elia, ekspor produk hasil bumi Papua langsung dari Pelabuhan Jayapura merupakan strategi penting untuk mewujudkan visi Papua bangkit, mandiri dan sejahtera. (***)