Peningkatan waktu tunggu bongkar muat kapal (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, merupakan cerminan buruknya infrastruktur pelabuhan di Indonesia. Bila tidak diperbaiki maka perekonomian Indonesia bisa terganggu.
Dwelling time merupakan ukuran waktu yang dibutuhkan kontainer sejak dibongkar dari kapal hingga keluar dari kawasan pelabuhan. Pada Januari silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah berkomitmen menurunkan dwelling time dari 6-7 hari menjadi 4 hari. Namun, dari waktu ke waktu, dwelling time mengalami peningkatan.
Jika pada April dwelling time rata-rata 10 sampai 13 hari, pada Juni lalu dwelling timebertambah menjadi rata-rata 13 sampai 17 hari. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Eko Listyanto menyatakan, naiknya dwelling time membuat barang tertahan lebih lama di pelabuhan.
“Akibatnya, timbul spekulasi mengingat ketiadaan barang di lapangan yang berujung pada tingginya harga barang,” ujarnya, Jumat (5/7). Selain itu, kualitas barang yang diangkut pun, khususnya barang konsumsi akan memburuk. Hal ini jelas mengganggu ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah perlu melakukan akselerasi teknologi dan pembenahan reformasi birokrasi. Tak lupa evaluasi prosedur dan simplifikasi pengurusan barang.
Hal yang sama diungkapkan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Transportasi Logistik dan Kepelabuhan Sjafrizal BK. Menurutnya, jika masalah ini tidak diselesaikan maka berdampak ke stagnasi arus masuk barang di Tanjung Priok saat bulan puasa yang biasanya meningkat sampai 25 persen. Selain itu, pengusaha akan terus merugi akibat hal ini.
Ketua umum Organisasi Angkutan Darat (Organda) Asosiasi Angkutan Khusus Pelabuhan (Angsuspel) Gemilang Tarigan mengatakan, tingginya dwelling time ini memiliki dampak ke berbagai pihak tak hanya masyarakat. Namun juga ke pengusaha truk, pengusaha kapal, dan pemilik barang. “Akibat padatnya pelabuhan maka truk-truk yang masuk pelabuhan Tanjung Priok akan tertahan selama empat sampai delapan jam. Akibatnya pengusaha pemilik barang menderita kerugian Rp 4,8 miliar per hari,” tuturnya.
Dia menuturkan, pemilik barang menderita kerugian langsung karena dua sebab yaitu, tarif demorage bersifat progresif. Kedua, pihaknya kehilangan kesempatan mengolah barang-barang dan buruh-buruh banyak yang menganggur. Dengan situasi sekarang, mustahil kita dapat biaya logistik.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik Carmelita Hartoto menilai, sebenarnya upaya waktu dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok menjadi tiga hari dapat dilakukan asal operator pelabuhan dan otoritas pelabuhan memiliki iktikad untuk melakukannya. Dia menuding ada kesan operator pelabuhan justru enggan memindahkan peti kemas ke lapangan penumpukan penunjang logistik ke sekitar pelabuhan.
“Mereka diuntungkan atas keterlambatan ini,” katanya. Hal ini tidak bisa dibiarkan karena kondisi ini bermuara pada membengkaknya biaya transportasi dan logistik, baik laut maupun darat.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa kecewa masalah dwelling time belum terselesaikan, sehingga menyebabkan banyak kontainer yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok. Hatta mengatakan, akan meminta laporan dari otoritas terkait di kawasan pelabuhan dan para pengusaha, untuk mencari penyebab utama lamanya waktu bongkar muat kapal yang bisa mencapai seminggu. n muhammad iqbal/rr laeny sulistiawati ed: fitria andayani