Pemerintah (Kemenhub) dan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) mesti tegas terhadap sertifikasi klasifikasi kapal nasional, terutama kapal-kapal jenis LCT yang kemudian dirubah menjadi kapal angkutan penyeberangan yang belakangan ini banyak terjadi musibah. Apalagi hal itu menyangkut keselamatan pelayaran.
“Jadi BKI mesti tegas pada waktu sertifikasi kapal, karena sekarang banyak kapal LCT yang dirubah design jadi kapal angkutan penyeberangan untuk angkutan penumpang dan barang,” kata Aminuddin, Sekjen Gapasdap saat dikonfirmasi Ocean Week per telpon, siang ini sehubungan dengan sejumlah kapal penyeberangan yang mengalami musibah tenggelam.
Memang, ungkap Aminuddin, pada situasi perekonomian yang melesu yang dihadapi para pengusaha kapal penyeberangan, masalah keselamatan pelayaran menjadi kurang begitu diperhatikan. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah (Kemenhub) yang berencana mengharuskan penggunaan kapal 5.000 GT di rute tertentu, dipastikan banyak perusahaan kapal penyeberangan kolaps.
Menhub Budi Karya Sumadi, ucap Aminuddin, perlu mempertimbangkan untuk merevisi atau kalau perlu mencabut PM 80 tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan. Mengingat peraturan ini dinilai Gapasdap sebagai penyebab ambruknya usaha penyeberangan.
“Selama lima tahun terakhir, kondisi usaha penyeberangan terpuruk karena sepi, muatan turun drastis, jumlah kapal terlalu banyak. Apalagi di lintas Merak-Bakauheni misalnya, dan disejumlah rute lainnya. Kapal boleh dibilang hanya beroperasi sekitar 15 hari dalam sebulan, ini sudah mengkhawatirkan,” ungkapnya.
Karena itu, DPP Gapasdap (Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai,Danau dan Penyeberangan) mendesak kepada pemerintah (Kemenhub-red) segera memoratorium perijinan angkutan, karena banyaknya penambahan kapal dibeberapa lintas penyebarangan.
“Sekarang ini, kapal di lintasan Merak-Bakauheni beroperasi hanya 12 hari dalam sebulan, sementara Ketapang-Gilimanuk hanya 14 hari, dan Padangbai-Lembar hanya 1,5 rit per hari. Karena pemerintah terus membuka kran perijinan, operasional juga tergerus, bahkan Merak-Bakauheni menuju hanya 8 hari,” ujar Aminuddin prihatin.
Menurut Direktur Pelayaran Bukit Merapin itu, Gapasdap mengancam, jika terus terpuruk dan tak mampu menutup biaya operasionalnya, karena terlalu banyak kapal, maka pertama yang dilakukan adalah mengurangi aspek kenyamanan, dan jika masih juga tak mampu, berikutnya akan mengurangi aspek keselamatan. “Kalau aspek keselamatan terganggu, pemerintah harus bertanggungjawab terhadap permasalahan ini,” ucapnya.
Aminuddin juga menyatakan, PM 104 tahun 2017 itu salah satu isinya adalah untuk pembatasan izin, adanya moratorium izin, tapi ternyata PM 104 Tahun 2017 itu, justru ada rencana untuk penambahan izin baru, di tiga lintasan, yakni Merak-Bakauheni, Ketapang-Gili Manuk, dan Padangbai-Lembar.
Persoalannya, kata Aminudin, dengan rencana adanya penerbitan izin baru itu, kapal-kapal di 3 lintasan, apakah itu tidak melanggar. “Apakah itu sudah sesuai dengan PM 104/2017, terutama pasal 60, ada yang aneh,” ungkapnya.
Aminuddin juga menyayangkan terjadinya musibah kapal Sinar Bangun di Danau Toba dan KM Lestari Maju di perairan Selayar yang memakan korban jiwa. “Ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, itu tadi kalau kapal LCT bisa jadi kapal untuk angkutan orang dan barang, itu yang perlu ketegasan dari Kemenhub, juga BKI saat sertifikasi kapal,” tuturnya. (ow/***)