Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Tol luat. Kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, evaluasi dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan tol laut yang menjadi program prioritas Presiden Joko Widodo.
“Saya telah memerintahkan Dirjen Perhubungan Laut untuk melakukan evaluasi program Tol Laut agar dapat berjalan lebih baik, dan saya minta seluruh stakeholder di sektor transportasi laut untuk ikut mendukung,” kata Menhub Budi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Evaluasi yang dilakukan itu bukan tanpa alasan, karena selama penyelenggaraan tol laut, banyak aduan dari masyarakat terkait dengan masalah program ini. Misalnya beberapa bulan lalu, kapal tol laut yang melayari Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku dan Pulau Larat, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, mengalami keterlambatan.
Akibatya, ketersediaan barang ke wilayah tersebut menjadi terhambat. Khusus untuk rute Moa-Larat-Kisar-Moa, yang dioperatori PT Mentari (waktu itu) dikarenakan adanya kerusakan crane kapal maupun kerusakan mesin.
Namun, setelah dilakukan perbaikan, kapal feeder Kendhaga V sudah berjalan kembali. Tetapi bukan berarti, Kemenhub berdiam diri, evaluasi tetap dilakukan. Bahkan, informasi yang diperoleh Ocean Week, menyebutkan operator rute tersebut (PT Mentari) dicabut operasinya, dan digantikan oleh PT Pelni.
Aduan pun kembali dilontarkan oleh pengguna jasa tol laut. Kali ini untuk rute Papua. Sebut saja Budi Alfian, salah seorang pengusaha di Surabaya. Dia mengeluh, karena untuk memperoleh jatah kapal tol laut sangatlah sulit. “Itu yang selalu dijawab oleh perusahaan ekspedisi. Jatah kontainer untuk tol laut selalu dibilang sudah habis, padahal kami pesan itu sudah jauh-jauh hari, dua bulan sebelumnya, tapi tetap saja tidak kebagian,” katanya.
Selain itu, ujar Alfian, tarif yang diberlakukan oleh EMKL juga mahal. Untuk pengiriman ke Fak Fak, perusahaan kapal menarik ongkos per dry container sebesar Rp 3.809.500 ditambah biaya stuffing di kisaran antara Rp 3 juta sampai Rp 3,5 juta. Namun, perusahaan ekpedisi (EMKL) menarik biaya antara Rp 9 juta – Rp 11 juta.
Sementara pada kontainer sama tujuan pelabuhan Agats, perusahaan ekspedisi mengenakan biaya Rp 15 juta. Padahal dari pelayaran hanya memungut sebesar Rp 3.327.500.
Kasus yang sama pun dulu pernah dialami pengguna jasa tol laut untuk rute Surabaya-Moa-Larat-Kisar-Moa. Perusahaan ekspedisi juga memungut biaya seenaknya, padahal tarif subsidi tol laut tidak sebesar seperti yang dikenakan dari EMKL.
“Kenapa tarif pengiriman via tol laut antar ekspedisi bisa berbeda-beda, padahal rutenya sama. Ini butuh transparansi,” tanya Alfian.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, misalnya rute Tanjung Perak-Wasior Papua, pelayaran reguler mengenakan biaya Rp 7-8 juta, sedangkan tol laut hanya Rp 3-4 juta. Namun, dalam praktiknya, tarif tol laut yang dirilis oleh perusahaan ekspedisi beragam, ada yang antara Rp 12 – Rp 15 juta, tapi ada yang Rp 12 hingga Rp 18 juta. Bahkan, beberapa ekspedisi lokal ada yang mematok tarif hingga Rp 20 juta (rute Agats dan Wasior).

Anehnya, untuk bisa menggunakan jasa pengiriman melalui tol laut, ada persyaratan yang mesti dipenuhi, yakni adanya surat rekomendasi yang dikeluarkan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah tujuan. Sebab, jika tak ada itu, muatan akan dialihkan ke pengiriman reguler atau non-tol laut.
Oleh sebab itu, para pengguna jasa tol laut tersebut mendesak supaya pihak Kemenhub segera turun tangan, mengevaluasi dan mencari solusi, agar pelaku usaha tol laut tidak dirugikan. “Pemerintah (Kemenhub) harus segera turun tangan, karena program yang tujuannya baik untuk membantu masyarakat, dalam praktiknya disalah-gunakan oleh oknum perusahaan. Ini nggak bisa didiamkan,” seru Lukman Lajoni, salah satu tokoh kemaritiman di Surabaya, kepada Ocean Week, Senin pagi ini.
Lukman juga mempertanyakan, sampai kapan pemerintah akan mensubsidi, mengingat kondisi yang terjadi di lapangan berbeda dengan yang diinginkan dan diharapkan pemerintah. “Jangan sampai program ini hanya menguntungkan segelintir oknum saja, masyarakat tetap tak menikmati dari program ini,” ungkapnya.
Memang, dari pengamatan Ocean Week sewaktu bertemu dengan beberapa pelaku usaha (pemilik barang) di daerah Moa dan Kisar Kabupaten Maluku Barat Daya, mayoritas mereka tidak mengetahui tarif tol laut yang sebenarnya. Mereka hanya memperoleh informasi tarif hanya dari perusahaan ekspedisi.
Karena, selama ini, akses tarif tol laut dari Ditjen Perhubungan Laut, tak pernah sampai ke tangan mereka. Padahal, jika menilik dalam kontrak tol laut, operator wajib menginformasikan tarif-tarif tol laut ke semua rute yang dilayaninya.
Pendapat serupa juga dilontarkan Henky Pratoko, Ketua ALFI Jawa Timur. Dia pun mengaku, bahwa ALFI juga menerima keluhan mengenai hal ini. “Sebenarnya konsep tol laut sangat bagus, dimana pelaku logistik menjadi jembatan pemilik barang atau pengusaha. Sementara dari sisi pemilik barang, mereka ada pilihan yang bagus. Sayang, dalam praktiknya jauh dari harapan,” ujarnya.
Menurut dia, dalam praktik konsep tersebut menemui berbagai kendala di lapangan, pertama disebabakan tidak adanya transparansi dari pemilik kapal, terutama mengenai slot atau space yang tersedia dan kapan closing time yang ditetapkan. “Harusnya ada center point yang bisa diakses oleh siapapun, mulai dari tempat yang tersedia berapa dan barang harus sudah masuk kapan,” kata Henky.
Pengguna jasa kapal tol laut sulit mendapat informasi kepastian tempat dan keberangkatan, tau-tau sudah penuh, maka pelaku logistik akhirnya memilih jalur normal yang tidak bersubsidi dengan konsekuensi biaya lebih mahal.
Untuk itu, baik Lukman maupun Henky berharap, pemerintah (Kemenhub) bersama operator tol laut, dan pelaku usaha duduk bareng untuk mencari solusi terbaik terhadap problematika tol laut. Karena jika tidak, subsidi trliunan rupiah yang sudah digelontorkan pemerintah selama ini akan sia-sia, dan terus tak bermanfaat di masa mendatang.
Jika tol laut, babak kedua pemerintahan Presiden Jokowi dilanjutkan, sebaiknya tidak hanya Kemenhub (Perhubungan Laut) saja yang aktif, namun mesti terlibat pemerintah Kabupaten, Kementerian Perdagangan, asosiasi truk, kementerian pertanian, serta pihak-pihak terkait lainnya. Tanpa melibatkan itu, program yang niatnya membantu masyarakat supaya disparitas harga antara pulau Jawa dan pulau-pulau lain tak berbeda, akan sia-sia dan tak akan tercapai. Yang ada hanya kerugian negara dan rakyat.
Untuk program tol laut dan solusinya, Ocean Week akan menggelar diskusi masalah ini, pada tanggal 3 Oktober 2019 mendatang, bertempat di Surabaya, menghadirkan Kemenko Maritim Luhut Panjaitan, Menhub Budi Karya Sumadi, Dirjen Laut Agus Purnomo, Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto, Dirut Pelindo III Doso Agung, Dirut Pelindo IV Farid Padang, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Ketua Kadin Jatim, dan pengamat pelayaran Asmary Heri. (id/ow/**)