Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam hal ini KSOP Marunda terseret masalah hukum dalam pusaran kasus KBN (Kawasan Berikat Nusantara) vs KCN (Karya Cipta Nusantara). Bahkan KBN menggugat Kemenhub terkait pemberian konsesi kepada KCN selama 70 tahun untuk pengusahaan Pelabuhan Marunda, termasuk menuntut KCN menghentikan seluruh operasional terminal pelabuhan yang sudah ada dan pembangunan sebagian proyeknya, dengan ganti rugi sebesar Rp 1,5 triliun.
Namun, apa yang dilakukan KBN tersebut dinilai Pakar hukum maritim Chandra Motik sebagai hal yang tidak lazim. Chandra mengungkapkan, tuntutan hukum KBN sebagai perusahaan negara kepada Kemenhub dinilainya salah arah dan tidak lazim. “Sama saja negara menggugat negara. Kemenhub menjadi korban dari pemasalahan internal KBN dan KCN,” katanya di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Chandra, sebelum ada putusan inkrah di Mahkamah Agung, perlu dilakukan dialog antara KBN-KCN. “Jangan sampai kasus ini nantinya menjadi momok bagi investor yang akan beinvestasi di Indonesia, karena khawatir hal seperti ini berulang. Apalagi, KTU (Karya Teknik Utama) sebagai investor telah menanamkan modal Rp 3,4 triliun dari total rencana Rp 5 triliun untuk pengembangan Pelabuhan Marunda. Kalau begini orang bisa jadi malas investasi di Indonesia,” ungkapnya.
Chandra pun mempertanyakan, kenapa KBN sampai menggugat KCN, padahal KCN merupakan perusahaan bentukan KBN dan KTU sendiri. “Ada apa ini,” tanya Chandra.

Pastinya bahwa sekarang ini Pelabuhan Marunda sangat seksi, makanya menjadi rebutan. PT KBN ingin mengambil alih pelabuhan tersebut dari KCN. Bahkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini tak peduli kalau sampai menyeret Kementerian Perhubungan (KSOP) Marunda ke pengadilan.
Kemenhub, KCN, dan Karya Teknik Utama (KTU) sebagai pihak yang digugat, kalah dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kemenangan KBN pun diperkuat dengan putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kemenhub dan KCN terancam harus membayar Rp 773 miliar dan pengelolaan Pelabuhan Marunda diserahkan ke KBN.
Tetapi, kasus ini belum inkrah dan sedang diadili di tingkat kasasi. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah mengatakan berkas permohonan kasasi sudah diajukan dan segera diproses. “Insya Allah sekitar tiga bulan ke depan semoga sudah putus,” ujarnya.
Untuk diketahui, pada tahun 2004 silam, KBN mengadakan lelang kepada pihak swasta yang tertarik menggarap proyek pembangunan pelabuhan Marunda, dan KTU kemudian ditetapkan sebagai pemenang. Lalu dibuatlah perjanjian kerja sama antara KBN dan KTU.
Pada tahun 2006, kedua perusahaan (KBN-KTU) membuat usaha patungan (joint venture) yakni KCN untuk membangun dan mengelola Pelabuhan Marunda. Tanpa mengeluarkan dana, KBN mendapat saham 15 persen dalam perusahaan patungan tersebut.
KBN hanya bertugas mengurus perizinan dan menyediakan 1700 meter lahan KBN di bibir pantai sebagai sarana pelabuhan. Sementara seluruh biaya pembangunan dan modal awal KCN menjadi tanggung jawab KTU. Makanya KTU mendapat porsi saham 85 persen.
“KBN harus mengurus perizinan. Setelah izin didapat, KCN diberikan waktu pembangunan dua tahun untuk setiap pier. Karena ada tiga pier, jadi enam tahun harus selesai semuanya,” kata Direktur Utama KCN Widodo Setiyadi kepada wartawan.
Meski begitu, pembangunan pelabuhan ini tertunda karena KBN belum bisa menyelesaikan tugas dalam mengurus perizinan. Pembangunan baru bisa dimulai empat tahun kemudian. Pada Juli 2012, KCN mulai mengoperasikan pelabuhan Pier 1, meski pembangunan terminal ini baru selesai 50 persen. Masalah muncul ketika penggantian direksi baru KBN di tahun yang sama ketika Pelabuhan KCN Marunda mulai beroperasi. Dirut KBN beralih dari Raharjo ke Satar Taba.
Satar Taba menginginkan perusahaannya menjadi pemegang saham mayoritas di KCN. Tapi KCN menolak dengan alasan prinsip awal pembangunan pelabuhan ini tidak menggunakan uang negara. Setelah dilakukan pembahasan, maka perjanjian kerja sama KBN dan KTU pun diubah pada Oktober 2014 demi mengakomodir keinginan KBN mendapat 50,8 persen saham KCN.
KBN harus membeli 35,8 persen saham senilai Rp 256 miliar. Namun, setelah satu tahun berlalu, KBN belum bisa menunaikan kewajibannya menyetorkan uang. Ternyata Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai pemegang saham tidak menyetujui penambahan saham KBN di KCN. Ini tertuang dalam surat Menteri BUMN kepada Direksi KBN mengenai pembatalan setoran modal saham KBN kepada KCN.
Surat itu ditandatangani oleh Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah tertanggal 25 Januari 2016. Akhirnya komposisi saham KBN dan KTU di KCN kembali ke asal, yakni 15:85. Setelah gagal menguasai KCN, KBN ingin 50 persen pengelolaan Pier 2 dan 100 persen Pier 3. Namun, permintaan ini dibatalkan sendiri oleh KBN. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Ham Wiranto dalam suratnya kepada Menteri BUMN dan Gubernur DKI Jakarta pada November 2017.
Persoalan hukum antara KBN dan KCN terus berlanjut. Menurut Widodo, selama enam tahun terakhir, KBN sudah empat kali menutup akses jalan keluar-masuk kendaraan proyek pembangunan pelabuhan secara sepihak. “Saya juga dilaporkan ke bareskrim tipikor polri, KPK, Kejaksaan Agung, hingga BPK, karena dugaan korupsi pemberian konsesi selama 70 tahun,” ungkap WIdodo. (kd/***)