Pengamat hukum laut sekaligus mantan Kabais, Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., M.H, menegaskan jika Bakamla tak boleh menangkap kapal-kapal niaga domestik, tanpa alasan yang jelas.
“Apalagi kalau kapal itu sudah ada surat perintah berlayar (SPB) dari pihak Syahbandar, itu kapal sudah tak ada masalah,” ujarnya menjawab adanya penangkapan salah satu kapal domestik oleh Bakamla, kemarin.
Soleman Ponto justru mempertanyakan hal Bakamla melakukan penangkapan tersebut, atas dasar apa. “Saya dengar sekarang jadi masalah. Sebab, surat-surat kapal nggak bisa diproses oleh para pihak. Siapa nanti bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu terhadap kapal, siapa yang harus ganti rugi,” katanya lagi.
Sebelumnya, Penasihat DPP Indonesia National Shipowner Association (INSA), Lukman Ladjoni, menyesalkan tindakan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang kerap menangkap kapal niaga berbendera Indonesia.
Sekedar diketahui Bakamla merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Jika sesuai tupoksi, kata Ladjoni, Bakamla seharusnya hanya melakukan tindakan pada kapal penangkap ikan ilegal atau illegal fishing, dan kapal penyelundupan terutama yang berbendera asing.
“Kalau kapal niaga berbendera Indonesia itu ditangkapi dan ditahan, ini namanya pemusnahan. Ini pemerintah harus sadar, apa tupoksi dari Bakamla itu. Kalau tujuannya bagus, tapi pelaksanaannya nggak bagus, jadinya kayak tukang palak,” kata Lukman Ladjoni kepada Ocean Week, Senin malam.
Peristiwa yang terbaru adalah ketika Bakamla melakukan penangkapan terhadap kapal Suryani muatan kosong, yang hendak mengangkut Pupuk Kaltim, untuk kebutuhan petani. Padahal, Bakamla tidak punya wewenang untuk menangkap dan menahan kapal niaga.
Akibatnya, kapal tidak bisa beroperasi. Pengiriman pupuk untuk para petani juga tertunda, bahkan belum terkirim hingga sekarang.
“Kelancaran pupuk ini diharapkan oleh petani. Kalau pupuk tidak lancar, beras nggak bisa turun, akhirnya beras impor terus. Karena apa? Setiap angkut pupuk, terhalangi oleh kejadian yang seperti ini,” katanya.
Lukman Ladjoni juga membeberkan, kasus ini tidak terjadi sekali ini saja. Beberapa anggota INSA juga banyak yang mengadu kejadian serupa.
Bakamla terkesan mencari-cari kesalahan kapal melalui sertifikasi. Padahal, sertifikasi kelayakan kapal adalah wewenang dari Syahbandar.
“Kalau Syahbandar sudah mengeluarkan Surat Izin Berlayar, berarti kapal tidak ada masalah. Kecuali kalau ada tindakan pidana, barulah anda tahan dan dilimpahkan ke penyidik dari instansi yang berwenang,” sambungnya.
Ladjoni juga menyoroti banyaknya patroli di laut yang berpotensi menghabiskan anggaran negara. Ada TNI AL, Bakamla, Syahbandar, Polairud dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik Indonesia KPLP serta patroli Bea Cukai.
Harusnya, Bakamla disatukan dengan KPLP yang berbentuk Coast Guard, institusi yang bertugas menjaga keamanan laut dari berbagai ancaman yang bersifat non militer.
INSA sebagai palaku aktif di lapangan, lanjut Ladjoni, sebenarnya sudah sejak lama memberi masukan kepada pemerintah dan para stakeholder. Namun kenyataannya, anjuran itu tidak pernah diindahkan.
“Cobalah kita semua sama-sama mendorong pelayaran nasional ini bisa bangkit, ekonomi bisa berjalan, hindarilah semua yang sifatnya aneh-aneh itu,” ungkapnya.
Menurut Lukman, pihaknya akan mempraperadilankan Bakamla dalam kasus ini. “Kami akan pra peradilankan, sehingga nantinya tak sembarang main tangkap, kita uji secara hukum. Jika Bakamla salah, pastinya kami akan minta pertanggungjawaban kerugian yang kami alami,” katanya. (***)