Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menyatakan kekesalannya kepada pemerintah (Kemenhub) yang tak kunjung memutuskan mengenai penyesuaian tarif di angkutan penyeberangan. Meskipun pemerintah sudah menyetujui adanya penyesuaian tarif untuk itu. Dan seharusnya Desember 2019 lalu sudah diimplementasikan kenaikannya.
Sayang, kenaikan tarif penyeberangan itupun diundur lagi. Bahkan saat ini oleh Kemenhub dilimpahkan kepada Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi untuk membuat keputusan untuk itu. Karena merasa ‘dipingpong’, para pengusaha penyeberangan pun mensinyalkan akan stop operasi alias mogok.
Gapasdap berharap, jeritan ini dapat didengar Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Sampai saat ini sekitar 60% perusahaan kapal penyeberangan sudah merugi. Mereka sudah telat-telat menggaji pegawainya,” kata Khoiri Soetomo, Ketua Umum Gapasdap, didampingi Aminuddin (Sekjen) kepada wartawan disela Rapat Pleno Diperluas DPP Gapasdap, di Jakarta, Selasa (4/2).
Khoiri ingin Presiden Jokowi turun tangan membantu mencarikan solusi, agar usaha yang sangat membantu kepada kelancaran perekonomian rakyat antar pulau ini dapat terus berlangsung, dan tidak mati. “Gapasdap berharap jeritan ini bisa didengar dan sampai kepada Presiden Jokowi,” ungkapnya.
Ketua Umum juga menyatakan bahwa apalah artinya pembangunan jalan tol, jika di sisi lain, dermaganya tak disesuaikan atau diperbaiki, sekaligus tarifnya tak memadai. “Kami sudah cukup sabar dan mengalah. Bahkan dari Kemenko Maritim dan Investasi (Rusdi Rohim, Asdep) mengatakan kenaikan penyeberangan tak berpengaruh terhadap tingkat inflasi,” jelas Khoiri.
Menurut Khoiri, bahwa pihak Kemenko Maritim dan Investasi berpesan supaya Gapasdap tidak melakukan mogok. “Tapi kalau kami terus merugi, apa boleh buat. Namun kami masih mencari jalan terbaik, kecuali pemerintah (Kemenhub) tak mendengar aspirasi kami ini,” katanya lagi.
Saat ini sekitar 432 unit kapal ferry penyeberangan dimiliki oleh 60-an perusahaan. Sekitar 60% sudah tergelepar. Misal di Merak-Bakauheni, dalam satu bulan, kapal hanya beroperasi sekitar 10-12 hari saja.
Gapasdap menilai pemerintah (Kemenhub) gagal sebagai pembina usaha penyeberangan. “Mestinya pemerintah tak perlu takut dengan kenaikan tarif penyeberangan ini, toh tak seberapa dan tak mempengaruhi inflasi,” ujar Aminuddin menambahkan.
Khoiri mengungkapkan bahwa faktor yang menyebabkan kenaikan tarif karena UMR maupun kurs. Misalnya tahun 2017 UMR 8,25% dengan kurs rp 13,297 terhadap dolar AS, tahun 2018 UMR naik jadi 8,71% dan kurs rp 15,248, pada tahun 2019 UMR 8,09% dan kurs rp 14.188.
Selain itu juga dikarenakan bertambahnya kapal di beberapa lintasan komersial, mengakibatkan penurunan hari operasi dari 60% menjadi 40% per bulan. “Sekali lagi kami tidak mengancam, namun jika terpaksa, kami akan meniru apa yang dilakukan Ojol,” kata Aminuddin. (***)