Pada masa lalu, sekitar tahun 114 Sebelum Masehi hingga tahun 1450-an Masehi, Jalur Sutra (Silk Road) menjadi rute perdagangan penting yang menghubungkan Timur dan Barat. Berkontribusi dalam perkembangan peradaban; penyebaran budaya, agama, serta pengaruh; juga meletakkan pondasi bagi dunia modern.
Kini, Tiongkok berusaha menghidupkan kembali Jalur Sutra. Dalam bentuk baru.
Presiden China Xi Jinping pada 2013 mengumumkan inisiatif ‘Jalur Sutra Baru Abad ke-21’ atau The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road atau yang dikenal juga sebagai Belt and Road Initiative.
Tujuannya, untuk menciptakan beberapa koridor ekonomi yang membentang lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Mengintegrasikan Asia, Eropa, dan juga Afrika. Wilayah darat, juga lautnya.
Inisiatif tersebut, khususnya di bidang maritim juga melibatkan Indonesia.
Presiden Tiongkok bahkan memilih Indonesia sebagai tempat pertama melontarkan rencana menghidupkan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 — yang sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi: kembali ke laut.
Meski sudah lama dicetuskan, banyak pihak yang belum memahami inisiatif tersebut. Termasuk di Indonesia. “Masih banyak yang belum mengenal lebih jauh tentang kebijakan Jalur Sutra Baru,” pendiri kata Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal.
Mantan Dubes RI untuk AS itu menambahkan, meski sudah lama berhubungan dagang dengan China, kebijakan politik Beijing masih terbilang baru untuk dipahami masyarakat Tanah Air.
He Yafei, Vice President of the Chinese Overseas Exchange Association menjelaskan kondisi dunia yang melatar belakangi inisiatif tersebut. Salah satunya krisis ekonomi global 2009.
“Perekonomian global menghadapi banyak kesulitan. Tak ada satu negara pun yang bisa menghadapinya tanpa menjadi bagian dari inisiatif global,” kata mantan Wakil Menteri Luar Negeri China itu dalam diskusi ‘China’s One Belt, One Road Policy: To Enhance 21st Century Linkage between Asia and Europe’ di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Sabtu (5/12/2015),
Itu mengapa China mengajukan konsep untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi regional, secara terintegrasi, dan dalam wilayah seluas mungkin. Bukan semata ekspansi ekonomi Tiongkok.
Sejumlah negara, kata He Yafei, menjadi mesin pertumbuhan yang kuat dan signifikan di Asia Tenggara dan Asia Selatan: China, Jepang, Korea Selatan, India, juga ASEAN.
Inisiatif Jalur Sutra Baru Abad ke-21 juga melibatkan negara-negara Eropa. “Meski dihantam krisis, negara-negara di Eropa adalah negara industri dan sebagian besar adalah negara maju.”
He Yafei menambahkan, Belt and Road Initiative berbeda dengan skema perdagangan bebas, terutama soal integrasi ekonominya.
Konektifitas dalam Belt and Road Initiative tersebut tercipta dalam 5 hal yakni konsultasi kebijakan, konektivitas infrastruktur, perdagangan bebas, sirkulasi mata uang lokal, dan hubungan people-to-people.
Terkait mata uang, He Yafei mengungkapkan arti penting menghilangkan ketergantungan para dolar Amerika, yang menurut dia, memiliki sistem yang mengandung risiko.
Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga membuat dolar ‘pulang kampung’ ke Negeri Paman Sam. Imbasnya, nilai mata uang sejumlah negara rontok. “Termasuk Malaysia, salah satu yang paling melemah,” kata He Yafei.
Sementara, “tanpa hubungan antar masyarakat (people-to-people) yang luas, niscaya kita akan menghadapi kesulitan dalam integrasi ekonomi,” tutur dia.