Pemerintah terus mendorong swasembada pangan khususnya daging sapi nasional agar kebutuhan akan daging sapi di pasar domestik dapat terpenuhi.
Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan daging sapi nasional 2019 sebesar 2,56 kilogram per kapita per tahun yang artinya total kebutuhan daging sapi adalah 686.270 ton di 2019.
Oleh karena itu, Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub memberikan dukungan agar swasembada pangan khususnya daging sapi dapat terwujud dengan mengerahkan 6 (enam) kapal ternak yang sudah beroperasi sejak tahun 2018 lalu.
Enam kapal ternak tersebut merupakan bagian dari program penyelenggaraan tol laut yang dioperatori oleh PT. PELNI, PT. ASDP Indonesia ferry dan perusahaan swasta.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, Capt. Wisnu Handoko menegaskan bahwa sebagai upaya peningkatan distribusi ternak melalui angkutan laut dan pemenuhan kebutuhan daging di wilayah konsumen, Kemenhub menyiapkan 6 (enam) trayek kapal ternak dengan 6 (enam) unit kapal ternak.
Kapal khusus angkutan ternak yang dibangun Kementerian Perhubungan merupakan implementasi Tol Laut, mendukung program pemenuhan ternak dari daerah sentra produksi ternak ke wilayah konsumen.
Penyelenggaraan kapal khusus angkutan ternak memperhatikan prinsip animal welfare, sehingga dapat meminimalkan penyusutan bobot ternak 8% – 10%, sementara dengan menggunakan kapal kargo penyusutan bobot ternak mencapai lebih dari 13%;
“Ini tentunya harus dapat dimanfaatkan oleh pengusaha atau pedagang sapi mengingat kapal ternak ini didesign untuk sapi agar sapi yang diangkut akan tiba ditujuan dengan kondisi baik dan segar,” ujar Capt. Wisnu Handoko, Sabtu (4/1).
Dalam rangka efisiensi anggaran belanja Negara, lanjut Capt. Wisnu, untuk perawatan ternak atau kleder pembiayaannya dibebankan kepada masing-masing pemilik ternak.
“Dari sisi operasional teknis lapangan, kleder dari pemilik ternak lebih mengetahui karakteristik ternak yang dimilikinya,” imbuhnya.
Capt. Wisnu menambahkan, untuk pendataan bobot sapi pada saat pemuatan di pelabuhan asal sampai dengan penurunan ternak di daerah tujuan serta untuk keperluan evaluasi efektifas kapal ternak maka perlu adanya timbangan ternak.
“Untuk pengelolaan timbangan ternak tersebut dapat dilakukan salah satunya oleh lembaga karantina hewan, PT. Pelindo, ataupun dinas peternakan Pemerintah Daerah,” jelasnya.
Berdasarkan penelitian yang disampaikan oleh Peternakan Australia saat seminar di IPB bogor disebutkan bahwa ternak yang dibawa oleh kapal Kargo mengalami penyusutan bobot mencapai 20 s.d 30% dan tingkat kematian mencapai 10%, tapi dengan kapal khusus ternak yang disediakan oleh Kemenhub maka tingkat penurunan bobot kurang dari 5% dan tingkat kematiannya sebesar 1%.
“Di kapal ternak juga disiapkan dokter hewan dan perawatnya agar ternaknya tetap sehat hingga sampai tujuan,” ungkapnya lagi.
Capt. Wisnu juga meminta agar operator kapal dan shipper untuk menerapkan sistem Infomasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK) agar tidak terjadi monopoli muatan.
Sementara itu, menurut Capt. Wisnu, agar dapat menekan biaya operasi yang sangat tinggi yang dibebankan kepada Negara, perlu adanya pemanfaatan muatan balik bisa berupa produk-produk atau hasil industri dari daerah konsumen ternak ke daerah penghasil ternak.
“Muatan balik yang dapat diangkut oleh kapal ternak adalah muatan yang bersifat tidak terkontaminasi oleh aroma kandang sapi dan tidak merusak kandang sapi itu sendiri dengan penerapan tarif menggunakan tarif komersial berdasarkan harga pasar,” pungkasnya.
Sebagai informasi, 6 (enam) kapal ternak bernama KM. Camara Nusantara I s.d VI beroperasi dari pelabuhan pangkal di Kupang, Bima dan Celukan Bawang Bali dengan pelabuhan muat di Kupang, Waingapu, Atapupu, Wini, Bima, Badas, Lembar dan Celukan Bawang.
Adapun pelabuhan tujuan adalah Tanjung Priok, Cirebon, Bengkulu, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin dan Pare-Pare. (hub/**)