Sejak keluarnya Permenhub 152 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Barang dari dan ke Kapal, dan juga menyebutkan BUP yang telah mendapat konsesi dapat melaksanakan kegiatan bongkar muat sendiri, membuat mayoritas pebisnis PBM meradang, dan minta agar PM tersebut direvisi, bahkan kalau perlu dicabut.
Para PBM itu, yang selama bekerja di pelabuhan yang dioperatori Pelindo 1-4 khawatir tidak akan dapat kerja lagi, karena BUMN tersebut dapat mengerjakan bongkar muat sendiri. Sorotan negatif, Pelindo dapat mematikan usaha PBM terus dicemaskan, dan kenyataannya di banyak pelabuhan di daerah, pekerjaan bongkar muat memang sudah dikerjakan oleh Pelindo. Kalau PBM ada yang bekerja, sistemnya menjadi sub kontraktor, Pelindo memberikan kerja dengan kontribusi yang telah disepakati.
Namun, terkadang PBM juga lupa, bagaimana dengan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) non Pelindo yang sudah konsesi. Mereka sudah investasi fasilitas dengan nilai yang sangat besar, tetapi tidak diperbolehkan mengerjakan bongkar muat.
Melihat situasi dan kondisi ini, pemerintah (Ditjen Hubla) meminta supaya para pihak, yakni BUP dan PBM harus saling memahami, serta mau berbagi. “Tidak boleh ada yang saling mematikan. BUP tak boleh mematikan PBM, begitu juga dengan PBM tidak boleh memusuhi BUP apapun bentuknya, mau itu BUP pelindo atau BUP swasta,” kata Capt. Wisnu Handoko kepada Ocean Week, Rabu siang (26/9), di Jakarta.
Capt. Wisnu berharap agar PBM juga harus semakin profesional dengan tidak memanfaatkan sentimen kedaerahan dan gaya arogan dalam menyelesaikan masalah. “Intinya berbagi kaplingan rejeki, bersama meningkatkan profesionalisme, termasuk dalam hal menerapkan no service no pay, dan itikad baik menyelesaikan setiap konflik,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI) Aulia Febrial Fatwa menyatakan, perusahaan PBM harus berbenah diri dan upgrade, kalau mau diajak kerjasama oleh BUP (pengelola pelabuhan). “Nggak bisa cuma modal punya forklift atau exavator atau sling, wire rope lantas bisa declare sebagai PBM dan memaksa minta kerjaan. Bandingkan dengan BUP yang sudah investasi infrastruktur kepelabuhanan,” kata Febri (panggilannya).
Febri mencontohkan, kalau bongkar muat CPO atau curah cair, dengan menggunakan sistem pipanisasi, apakah masih memerlukan keterlibatan PBM. “Makanya dari sudut pandang BUP, untuk PM 152 itu sudah tepat, tak perlu lagi ada revisi-revisi,” ungkapnya. (****)