Badan Keamanan Laut (Bakamla) kembali mempertontonkan drama pengusiran kapal Coast Guard China dari wilayah laut ZEE Indonesia, serta kapal China di Selat Sunda.
Tetapi, apa yang dilakukan oleh Bakamla tersebut mendapat kritik keras dari pengamat kemaritiman Laksamana (Purn) Solemen B. Ponto. Sebab, menurut Soleman Ponto, bahwa drama pengusiran kapal Coast Guard China beberapa waktu lalu itu, yang seakan-akan menegangkan dan telah memakan biaya yang sangat besar itu merupakan pekerjaan sia-sia.
“Walaupun Bakamla telah berteriak-teriak tetap tidak diguberis oleh Kapal Coast Guard China. Kenapa hal itu terjadi, karena personil Bakamla tidak mengerti dan tidak menguasai dengan baik hukum nasional serta hukum internasional khususnya UNCLOS 1982 yang menjadi rujukan semua negara didunia yang menggunakan laut,” ujarnya kepada Ocean Week, di Jakarta, Jumat pagi (15/1/2021).
Menurut Soleman Ponto, kapal Coast Guard China meninggalkan wilayah laut ZEE Indonesia bukan karena hasil kerja Bakamla, tapi waktu berlayar kapal Coast Guard China itu yang sudah habis.
“Wilayah laut ZEE Indonesia disekitar pulau Natuna itu sangat luas, sehingga bila harus dijaga dan diawasi terus menerus akan berakibat pada besarnya biaya operasional serta beban APBN,” katanya.
Ponto juga mengungkapkan, dari pada mempersenjatai dan mengoperasionalkan Bakamla yang juga tidak bisa berbuat apa-apa, ada baiknya bila anggaran operasional dan anggaran untuk membeli senjata itu digunakan membangun kapal-kapal ikan yang dapat digunakan oleh para nelayan Indonesia untuk menangkap ikan di wilayah laut ZEE Indonesia disekitar pulau Natuna itu.
Hal itu, ungkap Ponto, akan jauh lebih bermanfaat dari pada mengoperasionalkan dan mempersenjatai Bakamla yang justru dapat memperburuk situasi sengketa di wilayah laut ZEE Indonesia disekitar pulau Natuna. “Oleh karena itu, segala kegiatan untuk mengusir Coast Guard China dari wilayah laut ZEE Indonesia disekitar Natuna tidak perlu dilanjutkan lagi,” katanya.
Soleman Ponto mengaku prihatin dengan sepak terjang Bakamla yang terkesan hebat di mata masyarakat awam. Ponto kemudian bercerita bahwa sengketa Indonesia dan China di Laut China Selatan disebabkan karena adanya klaim wilayah laut pemerintah China yang pada peta ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine dash line yang berada tepat pada wilayah laut ZEE Indonesia disekitar pulau Natuna. “Jadi klaim pemerintah China itu tumpang tindih pada sebagian wilayah laut ZEE Indonesia di sekitar pulau Natuna,” ujar Pono.
Soleman Ponto juga mengatakan, pemerintah Indonesia menganggap bahwa klaim ini merupakan klaim yang tidak memiliki dasar hukum. “Klaim itu juga bertentangan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagaimana yang diputuskan oleh the Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016. Itulah sebabnya Pemerintah Indonesia menganggap bahwa klaim itu tidak ada. Sebagai konsekuensinya maka dimata Indonesia, seluruh wilayah laut ZEE Indonesia disekitar pulau Natuna berada dibawa pengawasan pemerintah Indonesia sesuai dengan hak yang diberikan oleh UNCLOS 1982,” kata Ponto menjelaskan.
Seperti diketahui, waktu itu, Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) menggunakan kapal KN Nipah 321 saat mengusir kapal Coast Guard milik China, lantaran berkeliaran di Zona Eksklusif Eonomi Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara. Peristiwa pengusiran tersebut terjadi dan dilakukan pada Sabtu 12 September 2020 lalu.
“Waktu itu, kapal coast guard China dengan nomor lambung 5204 terdeteksi sekitar pukul 10.00 WIB di radar dan automatic identification system (AIS) KN Nipah pada jarak 9,35 NM,” kata Ponto mengutip keterangan Kabag Humas dan Protokol Bakamla RI, Kolonel Bakamla Wisnu Pramandita, dalam keterangan tertulisnya.
Wisnu Pramandita juga menyebutkan bahwa mereka (kapal China) mengklaim sedang berpatroli di area nine dash line.
Padahal, berdasarkan UNCLOS 1982 tidak diakui keberadaan nine dash line, sehingga Bakamla RI meminta kapal China tersebut segera keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia. “Laut Natuna Utara merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia, dimana Indonesia memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam di kolom air dan kapal asing dibenarkan melintas dengan syarat tidak melakukan aktivitas lain yang bertentangan dengan hukum nasional,” Wisnu menandasi.
Menanggapi itu, Soleman Ponto menegaskan bahwa sangat jelas posisi kapal Coast Guard China itu berada didalam wilayah laut nine dash line yang artinya berada dalam wilayah laut ZEE Indonesia.
Mestinya, personel kapal Bakamla seharusnya melihat kenyataan bahwa kapal Coast Guard China saat itu posisinya sedang berada di wilayah laut ZEE Indonesia sekitar pulau Natuna. Karena berada di wilayah laut ZEE Indonesia, maka berlakulah aturan main di ZEE.
Ponto menyebutkan, aturan main di wilayah laut ZEE Indonesia diatur oleh Unclos 1982 dan UU 5 tahun 1983 tentang ZEE. Pada kedua aturan main itu sangat jelas dinyatakan bahwa di wilayah laut ZEE, Indonesia tidak memiliki kedaulatan tapi hanya memiliki hak berdaulat yang terdiri dari hak untuk melakukan exploitasi, explorasi dan konservasi sumber daya alam hayati (ikan) dan non hayati.
Hak berdaulat Indonesia selain diatur di Unclos 1982 juga diatur pada ayat 1 pasal 4 UU nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia yang selengkapnya berbunyi, Pasal 4 (1) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan:
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin.
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan,
1. pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan lainnya;
2. penelitian ilmiah mengenai kelautan;
3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
(2) Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan- persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan- ketentuan hukum internasional yang berlaku.
(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.
Solemen Ponto pun mempertanyakan kenapa transformasi Bakamla sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi sampai sekarang belum dilaksanakan. “Ada apa kok transformasi yang diminta pak presiden Jokowi belum dilaksanakan mereka,” tanya Ponto. (***)