Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto menyatakan bahwa saat ini pelayaran nasional dalam kondisi tetap kondusif ditengah geopolitik yang mengancam dunia.
“Meski demikian kita harus tetap mewaspadai kenaikan potensi harga minyak dunia dan melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika,” ujar Carmelita kepada Ocean Week, Jumat pagi.
Carmelita Hartoto berharap pemerintah yang akan datang lebih peduli pada industri maritim sebagai salah satu mata rantai logistik nasional.
Menurut dia, banyak PR yang masih belum dikerjakan agar diselesaikan. Misalnya pembentukan coast guard yang diakui IMO dan tunduk pada UNCLOS, implementasi NCVS yang masih belum berjalan, dan sebagainya.
Ditanya mengenai beyond Cabotage, ketua FASA ini mengungkapkan bahwa beyond cabotage untuk muatan unggulan masih seperti dulu, terbatas pada Permendag nomor 65.
“Akan tetapi feeder container dan tanker kita sudah mulai jalan keluar juga, walau masih terbatas di Asia. Memang untuk go internasional, banyak yang harus dipersiapkan. Bukan hanya competitiveness, tapi juga mematuhi international safety rule, agar tidak ada detention oleh PSC yang bisa mempengaruhi status white list kita,” jelas Carmelita.
Tetapi, kata Meme (panggilannya), kalau untuk global shipping tujuan diluar Asia, memang masih dikuasai oleh MLO. Karena volume yang harus dikumpulkan dari berbagai hub port.
Sebagai ketua FASA dan nanti di Hongkong mendapat giliran ketua ASA, ungkap Carmelita, bukan digunakan untuk kembali eksis agar nasional shipping mendunia, namun lebih sebagai komunitas shipowners regional.
“Tapi bukan tidak mungkin dengan dukungan pemerintah untuk mengadakan bilateral shipping agreement antar negara seperti dulu Indonesia dan Jepang misalnya. Bisa pula pelayaran nasional nantinya dapat makin berkibar di dunia,” ujarnya lagi.
Carmelita mengakui, jika sekarang ini untuk angkutan perdagangan ekspor impor Indonesia masih didominasi oleh kapal-kapal pelayaran asing.
Sebab, tegas Carmelita, untuk melakukan pelayaran internasional, ada banyak pertimbangan bagi pemilik atau pengelola kapal domestik.
“Saat ini terus terang saja ekspor-impor kita masih dikuasai oleh kapal-kapal asing hampir 90% masih asing, kalau untuk domestik sudah 99% bisa dibilang sudah kapal nasional,” katanya.
Carmelita juga mengungkapkan tantangan pelemahan rupiah yang berdampak pada kenaikan ongkos pemeliharaan dan pembelian sparepart untuk kapal-kapal.
Pelayaran tak menampik bahwa kurs rupiah yang kini berada di angka Rp16.000-an per US Dolar, dan itu akan mempengaruhi kepada tarif pengiriman yang harus ditanggung oleh pengirim barang melalui kapal.
Pasalnya, pemilik kapal juga membutuhkan ongkos operasional kapal, kini semakin tinggi. Harga energi yang melonjak hingga estimasi waktu pelayaran yang bisa membengkak.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia Maret 2024 sebesar US$22,43 miliar atau naik 16,40% dibandingkan Februari 2024 (month-to-month).
Adapun, ekspor migas tercatat US$1,29 miliar atau naik 5,62% dan ekspor nonmigas naik 17,12% dengan nilai US$21,15 miliar. (**)