Sebagai negara maritim, mungkin tidak banyak yang tahu jika setiap tanggal 21 Agustus, Indonesia memperingati hari Maritim Nasional. Meski pada hari itu bukan menjadi hari libur nasional sebagaimana hari-hari nasional lainnya.
Meski begitu, ada juga sebagian yang berpendapat bahwa hari Maritim Nasional jatuh pada tanggal 23 September, karena berpijak Surat Keputusan no. 249 tahun 1964 oleh Presiden Soekarno, sehingga tanggal itu dijadikan sebagai pijakan hari Maritim Nasional.
Kalau tanggal 21 Agustus 1945 dijadikan sebagai pijakan hari Maritim Nasional, artinya sudah 72 tahun Indonesia memperingati hari nasional tersebut, sama seperti HUT Kemerdekaan RI yang sudah berusia 72 tahun.
Sayangnya, peringatan hari Maritim Nasional tak pernah terlihat semeriah HUT RI. Mungkin itu tadi, karena tak banyak masyarakat yang tahu terhadap hari besar ini, meski di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK), kekuatan maritim dijadikan sebagai salah satu pilar bagi bangsa dan negeri ini.
Salah satu monumen sejarah kemaritiman nasional yang ada di pelabuhan Tanjung Perak. (Ist)
Kita masih ingat pada waktu pertama kali Presiden Jokowi berpidato dihadapan anggota MPR/DPR di gedung DPR RI. Jokowi menyatakan bahwa kita tak akan lagi memunggungi laut. Bahkan Jokowi pula yang mengusung konsep poros maritim sebagai andalannya sewaktu kampanye pemilihan presiden.
Tapi, setelah 72 tahun, apa yang telah dihasilkan dan bagaimana kemaritiman Indonesia kedepan. Padahal Presiden Jokowi berkeinginan menjadi Indonesia sebagai Poros Maritim dunia.
Ketua DPP Kesatuan Nasional Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata minta kepada pemerintah segera mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 dengan Panduan Badan Pangan Dunia atau FAO tentang Pedoman Perikanan Skala Kecil Tahun 2014.
Hal itu harus dilakukan, dalam rangka menegaskan janji Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014 silam, di mana ingin menyejahterakan nelayan, pembudidaya, dan petambak.
“Implementasi undang-undang ini dapat menjawab persoalan-persoalan yang menghadang agenda menurunkan keadilan dan kemakmuran bagi nelayan yang jumlahnya terus-menurus menurun,” ujarnya dalam siaran persnya yang diterima Oceanweek di Jakarta, Senin malam (21/8).
Memang, untuk mencapai cita-cita menjadikan Indonesia Poros Maritim dunia juga tidak ‘gampang’. Sebab, tidak sedikit pula negara-negara luar yang ingin pula menjadikan negerinya sebagai poros maritim dunia, meski secara wilayah, Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan banyak negara lain. Dan itu disadari betul oleh pemerintah Indonesia.
Namun, kenapa kita belum dapat memanfaatkan potensi yang dipunyai oleh kekayaan negeri ini, misalnya sumber kelautan (ikan, terumbu karang, migas, dan sebagainya).
Data Tahun 2000, mencatat bahwa Jepang dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3000 pelabuhan perikanan. Thailand hanya 2.600 km memiliki 52 pelabuhan perikanan. Sementara, Indonesia dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km, hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan, artinya setiap 4.500 km garis pantai hanya memiliki 1 (satu) buah pelabuhan perikanan.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan pembangunan, dan perombakan infrastruktur kelautan. Pembangunan infrasrtuktur yang berfokus untuk memperkuat poros maritim. Misalnya membangun pelabuhan bertaraf internasional, memperkuat armada kapal nasional, termasuk kapal penangkap ikan.
Pada era pemerintahan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur pelabuhan, bandara, akses jalan memang dilakukan, tetapi belumlah mencukupi.
Dari sisi kementerian kelautan dan perikanan juga baru gerakan penghentian pencurian ikan. Di kementarian perhubungan juga baru menyuguhkan Tol Laut. Lalu kementerian ESDM, apa yang sudah mampu disumbangkan untuk kepentingan anak bangsa ini, karena hampir semua potensi migas, dikuasai asing.
Kalau itu yang menjadi target, sebenarnya mulai tahun 2014 Indonesia telah melakukan pembangunan dengan target membangun 24 pelabuhan, dan berencana mengadakan sekitar 600 kapal untuk program tol laut. Target ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Presiden Jokowi menyebut bahwa dengan tol laut diharapkan dapat memperlancar konektivitas antar daerah, memperkuat jaringan pelayaran dan memangkas ongkos logistik nasional hingga 15%. Ternyata program tol laut ini diklaim pemerintah telah mampu menurunkan cost logistik.
Saat ini, biaya logistik di Indonesia termasuk yang termahal di dunia dengan kisaran hingga 27% dari produk domestic bruto atau PDB. Itulah mengapa sangat penting untuk mengebut pembangunan infrastruktur kemaritiman. Agar Indonesia tidak lagi menghamburkan devisa rata-rata US$ 14 miliar/tahun untuk membayar armada pelayaran asing. Sekitar 97% dari total barang dan komoditas yang diekspor dan diimpor oleh Indonesia, diangkut oleh kapal-kapal asing.
Sebagai contoh potensi total muatan nasional 502 juta ton per tahun (200 juta ton batubara; 55 juta ton crude oil; 60 juta ton CPO; 7 juta ton produk perikanan; 8 juta ton LNG; 2 juta ton LPG; 120 juta ton containers dan 50 juta ton general cargo), kita bisa meraup devisa perhubungan laut US$ 15 miliar setiap tahun-nya. Untuk itu, diperlukan ratusan kapal tambahan, dengan total investasi miliaran US$. Pertanyaannya, apakah potensi dan peluang ini sudah ditangkap oleh Indonesia.
Melihat potensi tersebut tidaklah salah jika Indonesia berkeinginan menjadikannya sebagai poros maritim dunia. Presiden Jokowi juga pernah menyatakan untuk bisa mewujudkan poros maritim dunia, terdapat lima pilar utama yang perlu dilakukan. Pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.
Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan. Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim.
Kelima pilar itu, kelihatannya bisa dilakukan Indonesia. Mengingat potensi itu ada pada negeri ini, tinggal bagaimana niatnya. Barangkali momentum 72 tahun Maritim Nasional ini dapat kembali membangkitkan kejayaan maritim Indonesia. (****)