Pelayaran rakyat (PELRA) merupakan bagian integral dari sistem transportasi laut nasional yang telah mengakar kuat dalam sejarah kemaritiman Indonesia.
Kapal-kapal kayu tradisional seperti phinisi, londe, lambo, sandeq, dan motor kayu telah menjadi tulang punggung perhubungan antar pulau kecil sejak masa awal kemerdekaan.
Hal itu diungkapkan Fatiyah Suryani Mile, SH, MH, Ketua Asosiasi Jaringan Kapal Rekreasi (Jangkar), kepada Ocean Week disela menjadi narasumber pada Rakernas Pelra, di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Suryani, sekarang ini, pelayaran rakyat bukan hanya melayani distribusi logistik dan barang kebutuhan pokok saja, tetapi juga mulai bertransformasi mengikuti dinamika ekonomi dan kepariwisataan.
Seiring meningkatnya popularitas wisata bahari di Indonesia, khususnya di daerah seperti Raja Ampat, Labuan Bajo, Wakatobi, Karimunjawa, dan Kepulauan Seribu, ujar Suryani, banyak kapal pelayaran rakyat yang kini difungsikan sebagai kapal wisata atau liveaboard.
“Kapal tersebut tidak lagi beroperasi sebagai angkutan barang tradisional, tetapi melayani wisatawan domestik dan mancanegara untuk aktivitas rekreasi seperti menyelam (diving), berlayar santai (cruising), maupun eksplorasi alam laut (marine adventure),” ungkapnya.
Kata Yani (panggilannya), bahwa fenomena tersebut menimbulkan irisan kegiatan antara angkutan laut pelayaran rakyat dan angkutan laut khusus untuk wisata, baik dari sisi fungsi, kegiatan usaha, maupun pengaturan hukumnya.
Dalam praktiknya, jelasnya, perbedaan tujuan kegiatan tidak selalu diikuti oleh kejelasan status hukum, terutama karena kerangka Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) belum secara eksplisit mengatur angkutan laut khusus wisata sebagai kategori tersendiri.
Dia juga menyinggung mengenai landasan Hukum dan Terminologi
Menurut Pasal 1 angka (3) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa pelayaran adalah kegiatan yang meliputi angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim.
Sedangkan angkutan laut merupakan kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal di perairan.
Suryani juga mengemukakan bahwa UU Pelayaran membedakan 4 jenis angkutan laut yakni Angkutan Laut Luar Negeri yang dikategorikan sebagai Angkutan Laut Niaga, yaitu kegiatan angkutan untuk kepentingan umum, kemudian Angkutan Laut Dalam Negeri yang dikategorikan sebagai Angkutan Laut Niaga, yaitu kegiatan angkutan untuk kepentingan umum.
“Kemudian Angkutan Laut Khusus, yaitu kegiatan angkutan bukan untuk kepentingan umum tetapi untuk keperluan tertentu/usaha pokoknya (misalnya: pertambangan, penelitian, atau perusahaan sendiri). Dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat, yaitu kegiatan pelayaran dengan menggunakan kapal-kapal tradisional yang melayani distribusi antar pulau dan wilayah terpencil, yang kini juga berkembang untuk mendukung kegiatan wisata bahari,” ungkapnya panjang lebar.
Sementara itu, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Laut Khusus menjelaskan bahwa angkutan laut khusus dapat meliputi kegiatan eksplorasi, survei, pekerjaan lepas pantai, maupun kegiatan sejenis.
Namun, tegas Suryani, angkutan laut khusus wisata belum disebut secara tegas dalam regulasi tersebut, sehingga muncul kesenjangan dalam pengaturan terhadap kapal wisata yang sebenarnya beroperasi di ranah pelayaran rakyat.
Sebaliknya, dari sisi kepariwisataan, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) mengenal usaha jasa transportasi wisata sebagai bagian dari kegiatan usaha pariwisata.
“Artinya, terdapat tumpang tindih yurisdiksi antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pariwisata dalam hal pengaturan kapal wisata,” katanya.
PP 74/2021
Suryani juga menjelaskan bahwa
Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat menjadi tonggak penting dalam upaya revitalisasi sektor pelayaran rakyat.
Peraturan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam memperkuat peran PELRA sebagai bagian dari sistem logistik nasional, sekaligus membuka peluang bagi transformasi fungsional menuju kegiatan ekonomi kreatif dan pariwisata.
Secara normatif, ungkap Suryani, Perpres 74 Tahun 2021 memiliki beberapa substansi utama sebagai berikut:
1. Penguatan Kelembagaan dan Koordinasi. Pemerintah menugaskan Kementerian Perhubungan untuk melakukan pembinaan, standardisasi, serta pemberdayaan terhadap pelaku usaha pelayaran rakyat melalui sinergi dengan kementerian/lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah dan asosiasi pelayaran rakyat.
2. Modernisasi Armada dan Fasilitas Pendukung, bahwa Perpres ini mendorong peningkatan mutu dan keselamatan kapal pelayaran rakyat melalui program peremajaan armada, bantuan teknis, serta akses terhadap fasilitas galangan kapal dan peralatan keselamatan modern tanpa mengabaikan kearifan lokal dan teknologi tradisional.
3. Kemudahan Perizinan dan Pembiayaan. Pemerintah mengamanatkan penyederhanaan perizinan usaha serta akses pembiayaan melalui lembaga keuangan dan skema kemitraan, guna memperkuat daya saing pelaku usaha pelayaran rakyat dalam rantai pasok nasional maupun kegiatan pariwisata bahari.
4. Integrasi dengan Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Salah satu arah kebijakan strategis Perpres 74/2021 adalah membuka peluang sinergi antara pelayaran rakyat dan sektor pariwisata. Kapal-kapal tradisional yang telah bertransformasi menjadi kapal wisata (liveaboard), kapal phinisi, atau kapal charter wisata bahari dapat diakomodasi dalam kerangka pemberdayaan PELRA, asalkan tetap memenuhi ketentuan keselamatan dan kelaikan kapal sesuai standar pelayaran nasional.
Dengan demikian, Perpres 74 Tahun 2021 memberikan dasar hukum yang kuat bagi integrasi antara Angkutan Laut Pelayaran Rakyat dan Angkutan Laut Khusus untuk Wisata.
Kebijakan ini tidak hanya menegaskan bahwa PELRA bukan sekadar moda tradisional pengangkutan barang, tetapi juga berpotensi menjadi tulang punggung dalam pengembangan wisata bahari berkelanjutan, ekonomi lokal, dan pelestarian budaya maritim Indonesia.
Suryani mengemukakan, Pelayaran Rakyat merupakan warisan budaya bahari Indonesia yang memiliki nilai ekonomi dan sosial yang tinggi. Transformasi sebagian kapal pelayaran rakyat menjadi kapal wisata adalah fenomena alami dari dinamika ekonomi maritim modern.
Namun, harapnya, tanpa dukungan kerangka hukum yang jelas, potensi besar ini dapat terhambat oleh ketidakpastian hukum.
“Pelayaran rakyat bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga bagian dari masa depan industri maritim dan pariwisata Indonesia,” kata Suryani. (***)





























