Macet di wilayah Tanjung Priok dan sekitarnya masih menjadi pemandangan yang sering terlihat hampir setiap saat.
Apalagi saat peak seasen pengiriman barang (petikemas ekspor) melalui pelabuhan Tanjung Priok mulai hari Rabu malam hingga Jumat malam, kemacetan tak lagi bisa dihindari.
Jalan Yos Sudarso, jalan Cakung Cilincing misalnya selalu dipadati truk-truk petikemas yang menuju dan keluar masuk pelabuhan.
Ditambah lagi, truk pengangkut petikemas yang keluar masuk depo kontainer, baik di sekitar Marunda maupun Cakung Cilincing, akan menambah deretan panjang mengularnya truk-truk itu di jalanan.
Bagaimana solusi mengatasi kemacetan tersebut, sampai sekarang masih belum ada jalan keluar yang tepat. Sejumlah konsep ditawarkan oleh berbagai pihak untuk itu, tetapi masih belum juga bisa mengatasi macet.
Karena itu Ocean Week mencoba menginterview H. Muslan (HM), Ketua Umum Asosiasi Depo Petikemas Indonesia (ASDEKI), mengenai kemacetan di Jakarta Utara ini. Mengingat tak sedikit berbagai kalangan yang menuding jika depo petikemas menjadi salah satu penyumbang dari kemacetan tersebut.
Apa kiat dan solusi yang ditawarkan ASDEKI atasi kemacetan, berikut petikannya.
OW : Bagaimana Bapak menanggapi masalah kemacetan di Tanjung Priok dan sekitarnya ?
HM : Belum lama ini Pak Menhub (Budi Karya Sumadi) mengumpulkan stakeholders terkait, membahas soal macet. Bliau minta berbagai pendapat dari para asoasi terkait termasuk Asdeki.

OW : Lalu apa usulan Asdeki ?
HM : Ada beberapa usulan yang akan kami sampaikan kepada Pak Menhub, misalnya minta kepada Kemenhub memberlakukan standarisasi kelayakan kontainer yang sebelumnya telah diatur melalui PM no. 53/2018, agar kontainer yang berada di Indonesia seluruhnya memiliki standar laik pakai atau pantas untuk ekspor dengan standar internasional.
OW : Selain itu ?
HM : Kami juga akan menyurati Kemenhub agar memberlakukan standarisasi perbaikan kontainer sehingga kontainer yang berada di Indonesia memiliki standar internasional. Selain itu, mengusulkan apabila ada investor baru atau perusahaan nasional yang akan mengajukan ijin untuk pendirian depo kontainer dapat berkolaborasi dengan perusahaan anggota Asdeki yang sudah ada, karena adanya beberapa perusahaan pelayaran besar yang merger sehingga berdampak kepada jumlah kontainer berkurang sangat signifikan sehingga berdampak tidak seimbangnya antara jumlah kontainer yang ada di Indonesia dan jumlah perusahaan depo kontainer.
OW : Sekali lagi, apa usulan Asdeki agar tak terjadi kemacetan ?
HM : Terkait dengan hal yang sudah saya sebutkan tadi, maka kami usulkan supaya dilakukan moratorium atau penghentian sementara pembukaan perijinan depo baru. Kemudian dilakukan penataan zona depo yang sudah ada agar dapat sesuai dengan kapasitas, peralatan, dan situasi jalan dari dan ke depo. Lalu melakukan peninjauan ulang diseluruh perusahaan depo terhadap perijinan dan pemenuhan persyaratan sesuai dengan Permenhub no. PM 83/2016. Kami juga sudah membentuk Satgas yang bertugas memberikan laporan tertulis per Minggu/bulan, lalu berkoordinasi dengan ketua atau sekretaris DPW Asdeki Jakarta. Tugas Satgas tersebut sampai bulan Oktober mendatang.
OW : Adakah usulan lain ?
HM : Oh ya, kami juga akan minta Otoritas Pelabuhan Priok dan Direksi Pelindo II agar waktu penumpukan kontainer kosong untuk reposisi dapat diberikan waktu 7 hari, free storage yang saat ini hanya 3 hari, agar pengiriman kontainer kosong dari dan ke depo dapat diatur lebih leluasa demi kelancaran lalu lintas sehingga bisa mengurangi kemacetan di jalan sekitar Cilincing dan Marunda dari dan menuju pelabuhan Priok.
OW : Berapa banyak sebenarnya jumlah depo petikemas di Jakarta ?
HM : Lumayan banyak, ada 43 depo kontainer, dengan rincian 30 merupakan anggota Asdeki, yang 14 perusahaan memiliki SIUDPK, 16 perusahaan dalam proses pengurusan SIUDPK. Dan 13 lagi bukan anggota Asdeki. Makanya kami minta kepada Gubernur DKI Jakarta (Anies Baswedan) untuk meninjau ulang perijinan perusahaan depo kontainer yang bukan anggota Asdeki.
OW : Harapan Bapak kedepan ?
HM : Kami berharap supaya macet di Jakarta Utara khususnya yang dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok bisa segera ada solusinya. Dengan demikian tidak mengganggu perekonomian nasional, dan cost logistik bisa stabil. (**)