Asosiasi Depo Petikemas Indonesia (Asdeki) periode 2023-2028 bakal menghadapi banyak masalah.
Problem itu bukan saja datang dari luar, namun juga dari dalam usaha depo petikemas itu sendiri.
Berbagai masalah yang seharusnya harus diselesaikan antara lain soal rebate (pengembalian) sebesar 70% dari biaya depo ke pelayaran asing pemberi order.
Lalu depo-depo liar yang ada di Jakarta maupun di daerah lain. Kemudian masalah persaingan tidak sehat antar usaha depo petikemas anggota Asdeki itu sendiri.
Untuk masalah-masalah tersebut, Ketua Umum Asdeki Mustafa Kamal Hamka mengatakan akan fokus dan berusaha menyelesaikannya.
“Kita akan fokus untuk penanganan hal-hal yang kami nilai sangat merugikan usaha depo. Untuk rebate, kami tak sama sekali menghilangkan, tapi bagaimana bisa mengurangi, karena kita nggak punya bargaining power dengan mereka (pelayaran asing),” ujarnya kepada Ocean Week, di sela rapat penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Ad/Art), di Sunlake Hotel, Sunter Jakarta Utara, Rabu (22/11).
Khusus untuk rebate 70%, kata Kamal, pihaknya akan melakukan konsultasi kepada INSA untuk membantu penyelesaian masalah ini. “Asosiasi (Asdeki) akan bertindak sebagai mediator dengan pelayaran untuk soal rebate 70% ke pelayaran asing itu,” kata Kamal.
Sementara itu untuk menangani depo liar, Kamal mengungkapkan akan berkoordinasi dengan direktorat bea cukai, melalui NLE Connect (National Logistic Ecosystem). “Kami sudah berkoordinasi dengan direktorat bea cukai, kan ada NLE, karena semua anggota Asdeki akan melaporkan keluar masuknya kontainer melalui NLE Connect. Jadi depo liar yang belum terafiliasi dengan Asdeki tak akan bisa,” jelas Kamal.
Kamal menambahkan, setiap anggota dapat melakukan repoin (keluar dan masuk kontainer), tapi jika bukan anggota tak akan bisa. Makanya harus ada terobosan baru untuk menertibkan depo-depo liar tersebut.
Di tempat sama, pelaku usaha depo sekaligus ketua Asdeki Jawa Timur, Agung Kresno Sarwono juga mengeluhkan hal sama, yakni rebate 70% ke Shipping line asing dan depo liar.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini, karena ini B to B. Kalau kami nggak mau dengan mereka, ya mereka akan pindah ke depo lain,” ungkap Agung dibenarkan Purwo (ketua Asdeki Lampung).
Sigit Sesotyo, pengusaha depo petikemas di Surabaya juga mengeluhkan hal yang sama. “Kita semua nggak bisa berbuat banyak selain menerima. Tapi, kalau kita menaikkan tarif depo petikemas, pasti akan jadi high cost logistik,” katanya.
Sigit sendiri mengaku tak terdampak langsung dengan hal itu, karena deponya lebih banyak menangani petikemas isi, bukan empty container.
Asdeki minta kepada pemerintah (Kemenhub) untuk bisa mengatasi masalah yang membelenggu usaha depo petikemas ini. “Pemerintah (Kemenhub) kami minta bisa mengawasi untuk rebate 70% oleh shipping line asing, sebab hal itu sangat mencekik usaha depo,” kata para pelaku usaha depo, di Jakarta.
Sebelumnya, pelaku depo petikemas di Jakarta juga mengeluhkan tingginya rebate ke pelayaran asing yang mencapai 70%.
Dia berharap, kepengurusan Asdeki baru hasil Munas Asdeki Yogjakarta bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh usaha depo anggotanya.
Seperti diketahui bahwa pada Rabu (22/11), Asdeki hasil Munas Yogjakarta mengadakan Rapat Penyusunan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Ad/Art), bertempat di Sunlake Hotel, Sunter Jakarta Utara.
Hadir dewan pembina Asdeki H. DR. Sungkono Ali, maupun sekitar 16 pengurus anggota Asdeki baik dari Jakarta, Surabaya, maupun daerah lainnya.
Pembahasan Ad/Art ini berlangsung cukup ‘alot’. Misalnya perubahan untuk hak suara setiap anggota yang dulu tak memiliki hak pilih, namun sekarang diakomodir.
Pelaku usaha depo berharap setiap anggota berhak mendapat perlindungan dari praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh anggota dan non anggota Asdeki. (**)