Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) curhat kepada Stranas PK mengenai mahalnya upah tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di pelabuhan. Bahkan biaya TKBM bisa mencapai 60-an% dari total keuntungan yang diperoleh usaha PBM dari komponen bongkar muat barang, khususnya non petikemas.
“Bayangkan TKBM bisa mendapatkan Rp 2800-an, dan kami paling hanya dapat Rp 1.000 rupiah untungnya. Padahal kita yang mempekerjakan mereka (TKBM),” ujar salah satu pengurus APBMI dari Kalimantan Selatan, di sela Rakernas APBMI 2023, baru-baru ini, di Jakarta.
Selain itu, dari APBMI Manado juga minta supaya Febriyantoro, Tenaga Ahli Aksi Reformasi Tata Kelola Pelabuhan Stranas PK bisa secepatnya menangani masalah ini, karena hal ini sangatlah merugikan usaha PBM.
Curhatan dan keluhan APBMI tersebut, sebelumnya juga disampaikan kepada perwakilan KemenkoMarvest Surat Indrijarso dan direktur Lala Hubla Capt. Hendri Ginting. “Kami berharap Hubla dan Stranas PK bisa membantu menyelesaikan masalah TKBM ini, karena jangan sampai membebani kami para PBM,” kata APBMI dari berbagai daerah.
Ditanyai mengenai curhatan APBMI tentang TKBM, Surat Indrijarso mengatakan akan mengevaluasi masalah TKBM di pelabuhan yang ternyata masih banyak masalah tersebut. “Kami akan secepatnya mengevaluasi mengenai ini, makanya APBMI kasih masukan yang riil,” katanya kepada Ocean Week.
Sedangkan Febriyantoro (akrab dipanggil Toro) kepada Ocean Week juga mengatakan akan segera menindaklanjuti keluhan para PBM tersebut.
Seperti diketahui bahwa TKBM di pelabuhan merupakan salah satu komponen penting dalam biaya logistik. Biaya TKBM yang tidak standar dan tidak terkontrol menyebabkan biaya logistik mahal.
Febriyantoro, mengakui akan hal itu. Karena itu, ujarnya, pembenahan tata Kelola TKBM menjadi salah satu output dalam aksi reformasi tata Kelola Pelabuhan 2023-2024.
Selama ini, kata Toro, pengelolan TKBM dimonopoli oleh koperasi TKBM berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 dirjen 1 deputi yakni Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Deputi Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Negara Koperasi dan UKM menandatangani SKB tentang Pembinaan dan Penataan Koperasi TKBM di Pelabuhan 2012 lalu.
Namun, pada hasil kompilasi temuan di lapangan, terutama saat pelaksanaan aksi Reformasi Pelabuhan 2 tahun sebelumnya (2021-2022), ditemukan bahwa pengelolaannya tidak menyejahterakan TKBM.
“Dari 14 pelabuhan piloting sebelumnya, seluruh TKBM semuanya berharap menerima gaji bulanan, ada jaminan keselamatan dan kesehatan, juga hari tua. Bahkan butuh pelatihan khusus karena resiko tinggi,” jelas Febriyantoro.

Dia kepada Ocean Week pun mengaku setuju kalau pengelolaan TKBM boleh dilakukan oleh Koperasi, Yayasan, maupun Perseroan (PT). “Bisa saja dikelola oleh selain koperasi,” ungkapnya usai memberi paparan di acara Rakernas APBMI baru-baru ini.
Toro menambahkan, bahwa kondisi persaingan yang tidak sehat karena monopoli ini menjadi penyebab pengelolaan TKBM yang tidak profesional dan menimbulkan celah korupsi.
Dia memberi contoh, yaitu kasus korupsi dalam pengelolaan TKBM yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara, sehingga pemerintah berkomitmen untuk membenahi TKBM di pelabuhan, di antaranya dengan dikeluarkannya undang-undang yang baru. “Kesepakatan antar eselon 1, bukan masuk dalam perundang-undangan. Setelah peraturan lain terbit, harusnya SKB runtuh dan tidak berlaku lagi. Jadi mau ga mau harus beradaptasi dengan peraturan baru. SKB 2 dirjen 1 deputi juga tidak sejalan dengan perundang-undangan yang baru, seperti UU Cipta kerja dan juga PP Nomer 7, di mana tidak menyebutkan monopoli pengelolaan di pelabuhan,” jelasnya.
Toro juga menyampaikan bahwa pembenahan tata Kelola TKBM diperlukan sebagai salah satu antisipasi penerapan digitalisasi di pelabuhan seperti yang telah dilakukan di 14 pelabuhan di aksi 2021-2022.
Kompetensi dan kesejahteraan mereka menjadi perhatian Stranas PK. “TKBM yang telah bekerja punya hak harus mendapat hak dari kerja mereka, di mana mereka bekerja seperti pegawai kantor yang gajian setiap bulannya, mendapat jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan hari tua. Mereka juga butuh pelatihan untuk standarisasi dalam bekerja dan pemerintah telah bersepakat jaminan untuk TKBM,” tegas Febriyantoro. (**)