Ketika Indonesia masih mencari bentuk yang pas untuk tata kelola pelabuhan, dan juga ingin menjadikan salah satu pelabuhan di negeri ini dapat menjadi transshipment, yakni memindahkan sebagaian pasar dari pelabuhan Singapura ke Indonesia, pemerintah Singapura justru sudah menggagas proyek ‘Mega Raksasa’ menjadikan negeri ‘Singa’ ini tetap terbesar dalam bidang kemaritiman.
Singapura akan menjadikan Jurong sebagai kota industry, Tuas sebagai pusat pelabuhan yang ditargetkan mampu memproduksi barang (petikemas) sebesar 65 juta TEUs per tahun.
Singapura tetap berupaya untuk menjadi hub transshipment tertinggi di dunia, hub udara terkemuka dan kota yang nyaman untuk dapat ditinggali. Tuas memang didesign pemerintah sebagai sebuah mega port, dimana operasi pelabuhan kota Singapura, termasuk Tanjong Pagar dan Pasir Panjang, akan dipindahkan kesana. Dan langkah ini akan membebaskan lahan untuk pembangunan Greater Southern Waterfront, tiga kali ukuran Marina Bay.
Pemerintah Singapura bertekad membuat industry maritime bagian terpenting dari ekonominya, apalagi dapat menyumbang 7% dari produk domestic bruto.
Saat ini Singapura memegang gelar pelabuhan tersibuk di dunia, sehingga negara-negara lain di kawasan ini mengincar irisan kue transshipment yang lebih besar dan meningkatkan infrastrukturnya, termasuk Indonesia.
Tuas sendiri, pertama kali diumumkan oleh Menteri Perhubungan Lui Tuck Yew pada tahun 2012. Mega port tersebut akan mengkonsolidasikan seluruh operasi pelabuhan Singapura. Dibangun dalam empat tahap, dan tahap pertama diperkirakan bisa beroperasi pada tahun 2021 mendatang.
Proyek Tuas bernilai miliaran dolar akan meningkatkan kapasitas pelabuhan menjadi 65 juta TEUs, lebih dua kali lipat dari apa yang ditangani pelabuhan Singapura tahun lalu.
Ekspansi ini merupakan yang terbaru dalam serangkaian langkah berani untuk menumbuhkan pelabuhan Singapura dengan membangun lebih dulu sebelum ada permintaan. Tuas, sebenarnya, dianggap sebagai lokasi potensial sebelum Pasir Panjang terpilih pada awal 1990-an.
Kenapa pemerintah Singapura memilih Tuas sebagai pusat konsolidasi, sebab, kata Andrew Tan, CEO Maritime and Port Authority of Singapore (MPA), Tuas adalah lokasi yang cocok karena perairannya yang terlindung dan dekat dengan rute pelayaran internasional dan kawasan industri utama di bagian barat Singapura.
Selain itu, dapat meningkatkan kapasitas untuk memenuhi tuntutan jangka panjang, memiliki semua aktivitas kontainer di satu lokasi akan mengurangi jarak dan kompleksitas pengangkutan kontainer antar terminal. Hal ini, pada gilirannya, bisa meningkatkan efisiensi.
“Konsolidasi akan menghilangkan kebutuhan pengangkutan antar terminal, yang juga bisa menyebabkan kemacetan jalan,” katanya, sembari menambahkan bahwa langkah tersebut akan menghemat waktu dan mengurangi biaya bisnis untuk operasi pelabuhan.
Namun, ini akan membebaskan lahan utama untuk pembangunan perumahan dan perkotaan sebagai bagian dari Greater Southern Waterfront.
Kepala eksekutif MPA juga mencatat bahwa industri perkapalan telah melakukan konsolidasi, dengan jalur utama mengatur diri mereka menjadi aliansi utama seperti 2M, Ocean Alliance dan THE Alliance.
Mereka (Singapura) pun sudah melihat bahwa aliansi tersebut pastinya akan menuju penggunaan kapal yang lebih besar, termasuk kapal kontainer mega yang menampung 18.000 hingga 22.000 kapasitas.
Dan Pelabuhan Tuas memberi harapan untuk menyediakan kapasitas tambahan memenuhi kebutuhan aliansi utama tersebut.
Sebenarnya, Tuas dirancang untuk melayani kapal mega yang bisa menampung kapasitas 24.000 kontainer. Tuas memiliki dermaga tempat berlabuh yang panjang dengan kedalaman 23 meter. Konon di pelabuhan ini akan dilengkapi dengan 26 crane canggih yang berjajar di dermaga.
Kedepan, Pelabuhan Tuas ditetapkan menjadi etalase untuk teknologi dan sistem port terbaru. Singapura berharap untuk tetap di depan dalam persaingan dengan mengadopsi inovasi terbaru, untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi di pelabuhan serta mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual. MPA dan PSA sudah meletakkan dasar untuk port pintar.
PSA saat ini memiliki armada derek halaman otomatis terbesar secara global, dengan 186 gantry crane terpasang otomatis pada Tahap 3 dan 4 pelabuhan di Pasir Panjang. Crane otomatis ini tidak lagi memerlukan operator khusus.
Sebenarnya, di Singapura sendiri, pro kontra tetap saja ada. Singapura telah lama berusaha menampung gelombang permintaan dalam perdagangan. Sejarah mencatat, pada tahun 1966, Pemerintah memutuskan membangun pelabuhan kontainer pertama di Asia Tenggara di Tanjong Pagar.
Terminal tersebut dibuka pada tahun 1972. Seiring volume perdagangan meningkat pada tahun 1970-an dan 1980-an, maka Kepala pelabuhan PSA Howe Yoon Choong mengakui bahwa ada batasan fisik untuk memperluas terminal kota dan menugaskan studi mengenai lokasi di masa depan. Salah satu gagasannya adalah untuk menemukan sebuah terminal peti kemas dengan bandara di Changi.
Pada tahun 1986, Pemerintah mengumumkan akan membangun sebuah pelabuhan kontainer di pulau kecil Pulau Brani di selatan sebagai bagian dari rencana pengembangan $ 1,5 miliar untuk meningkatkan kapasitas. Tapi saat sedang dibangun, pencarian tempat untuk pelabuhan kontainer tetap dilakukan.
Kepala eksekutif Urban Redevelopment Authority (URA) Lim Eng Hwee, menyatakan dari perspektif penggunaan lahan, URA lebih memilih pelabuhan lebih jauh di Tuas sehingga mengangkut kontainer dengan kendaraan berat akan disimpan di barat. “Jelas kita suka infrastruktur berat berada di luar, lebih jauh dari kota, sehingga akan mengurangi kepadatan lalu lintas,” kata Lim.
Tapi PSA lebih menyukai Pasir Panjang karena akan beroperasi sebagai satu sistem lengkap dengan terminal kota. Ini akan berarti menurunkan biaya dibandingkan dengan Tuas.
CEO PSA Tan Chong Meng mengatakan bahwa penempatan pelabuhan di Pasir Panjang berarti penghematan biaya beberapa ratus juta dolar setahun karena konektivitasnya yang lebih besar dengan terminal kota.
Waktu tahun 1992, Pemerintah Singapura mengatakan akan membangun pelabuhan baru di Pasir Panjang dengan kapasitas 36 juta TEUs, kemudian mengumumkan rencana untuk memperluas menjadi 50 juta TEUs pada tahun 2004.
Pada tahun 2010, Komite Strategi Ekonomi mengusulkan agar Rencana Konsep 2011 mengkaji kelayakan pelabuhan konsolidasi di Tuas dalam jangka panjang, dengan kapasitas yang cukup untuk memastikan Singapura tetap kompetitif.
Rencana untuk memindahkan pelabuhan ke Tuas telah disetujui, dan sekarang sedang dieksekusi.
Kata Perdana Menteri Lee Hsien Loong dalam pidato tahun 2015: “Kami melihat Tuas sebelumnya, kami belum siap, sejak itu kami telah melakukan reklamasi lebih banyak di Tuas dan kami telah melihatnya lagi dan kali ini kami pikir kami dapat melakukan yang benar di Tuas”.
Pelabuhan Tuas yang baru merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengembangkan Singapura menjadi pusat maritim global yang memiliki cluster layanan dan aktivitas maritim yang dinamis. Ini sudah menjadi rumah bagi lebih dari 140 kelompok pelayaran internasional dari Asia, Eropa dan Amerika.
Pastinya, Singapura telah berkembang dengan bertaruh besar pada tren masa depan yang membuat Republik ini bangkit untuk menjadi hub transshipment tertinggi di dunia, hub udara terkemuka.
Selain membangun Tuas, Singapura pun ingin mengubah Jurong menjadi Kawasan Bisnis Pusat kedua di Singapura.
Pada tahun 2008, Pemerintah meluncurkan cetak biru untuk mengubah Distrik Jurong Lake (JLD) – area seluas 360ha yang terdiri dari Jurong Lake dan daerah sekitar stasiun Jurong East MRT, dimana Jurong Country Club berada – ke tempat tujuan danau untuk bisnis dan liburan lebih dari 10 sampai 15 tahun.
Jika Singapura yang sudah sedemikian settle di sector jasa kemaritiman (kepelabuhanan) saja sudah berpikir melakukan pengembangan akibat perubahan pola perdagangan dunia, dan pelayaran dunia. Kenapa Indonesia masih berkutat pada masala-masalah kemaritiman dalam negeri, kapan negeri ini dapat menjadi Negara maritime yang bisa membanggakan dan diperhitungkan dunia. Mengingat potensi Indonesia sangat bisa untuk mengarah kesana. (***)