Komisi V DPR RI melakukan dengar pendapat dengan asosiasi perusahaan bongkar muat Indonesia (APBMI), Indonesia National Shipowners Association (INSA), dan akademisi/ praktisi kemaritiman, bertempat di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (3/4/2024).
Komisi V pada kesempatan ini mengharapkan ada masukan dari para pelaku pelayaran, pengusaha bongkar muat, dan akademisi mengenai rencana revisi Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Ketua umum DPP INSA Carmelita Hartoto menyatakan bahwa pihaknya tak menolak adanya rencana UU no. 17/2008 tentang Pelayaran. “Namun kami berharap dalam revisi nanti supaya masalah cabotage diperkuat dan ada kepastian hukum mengenai keamanan di laut,” katanya usai rapat dengar pendapat dengan komisi V DPR RI, di Jakarta.

Sementara itu, Ketua Umum DPP APBMI Juswandi Kristanto menyampaikan bahwa pihaknya hanya memberikan masukan agar dalam rangka penyempurnaan UU No.17 tahun 2008, dalam pasal 90 ayat 3 huruf g yang berbunyi ‘penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang’, perlu ada penjelasan.
“Penjelasan huruf g yang dimaksud dengan penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang adalah pelayanan jasa bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan pada terminal multipurpose/konvensional yang dalam pelaksanaannya dilakukan melalui kemitraan dengan badan usaha yang didirikan khusus untuk bongkar muat barang di pelabuhan dalam rangka pemberdayaan UMKM dengan memperhatikan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam berusaha.
Sedangkan Laksamana Soleman Ponto (pengamat keamanan laut) menegaskan jika revisi UU sebenarnya tak diperlukan, karena kalau membicarakan soal Coast Guard, sudah jelas yakni merujuk pada UU 17/2008 tentang pelayaran. Jadi bukan merujuk pada UU 32.
Soleman juga menyampaikan sebenarnya UU no. 17/2008 tak perlu direvisi.
Menurut mantan Kabais ini, materi revisi UU 17/2008 bertentangan dengan UU 1945, dan mudah untuk dibatalkan oleh MK. “Selain itu bertentangan dengan Perpres 40/2015 tentang Kemenhub,” ujarnya.
Akibat dari revisi UU 17/2008, ungkap Soleman, Indonesia akan kehilangan administrator di IMO, tak ada kepastian hukum atau terjadi kekacauan penegakan hukum. Lalu tak ada kepastian berusaha.
“Kita tau kalau Indonesia pelayaran kapal niaga, bakal tak ada kesejahteraan, tanpa kesejahteraan Indonesia akan runtuh. Nah kalau Bakamla menjadi Coast Guard, rubah dasar hukum dari UU 32/2014 menjadi UU 17 tahun 2008, gabung dengan KPLP,” tegas Soleman.
Ketua Komisi V DPR RI Lassarus, cukup memahami dengan masukan yang diberikan oleh INSA, APBMI, maupun Soleman Ponto. “Kita akan bawa materi masukan yang bagus ini kepada tim, terima kasih atas masukannya,” ungkapnya. (**)