Keinginan menjadikan pelabuhan Jakarta sebagai transhipment mulai membuahkan hasil, pasca adanya persetujuan dari Ditjen Bea dan Cukai kepada Jakarta International Container Terminal (JICT) dapat melayani alih muat (transhipment) kargo internasional mulai Maret 2019 lalu.
Dalam surat Bea Cukai itu, disebutkan pula JICT menjadi dedicated area untuk perpindahan barang antar terminal (cross terminal movement) ke PT JICT dan TPK Koja.
Memalui keterangan resminya, Kepala OP Tanjung Priok Capt. Hermanta mengemukakan, bahwa dengan persetujuan otoritas kepabeanan, semua kapal dari luar negeri yang akan melakukan transshipment ke pelabuhan di Negara tujuan berikutnya, dapat melakukannya lewat JICT.

“Layanan transshipment internasional akan membawa dampak efisiensi bagi rantai logistik Indonesia. JICT sebagai terminal pelabuhan dengan volume kegiatan, produktivitas kerja dan alat paling tinggi dibandingkan yang lain di Tanjung Priok, harus semakin mampu menarik customer ekspor impor dan memberikan pelayanan lebih baik,” katanya.
Namun lagi-lagi, ungkap Asmary Herri, Direktur Pelayaran Samudera Indonesia, bagi pemilik barang, apakah pengapalannya lewat Singapura, lewat Malaysia, atau bahkan keliling dunia sekalipun tak jadi persoalan. “Yang paling penting tarif kompetitif atau syukur lebih murah jika lewat Jakarta, tepat waktu, efisien, aman, dan nyaman,” ungkapnya.
Menurut Asmary, itulah layanan yang diberikan oleh pelabuhan Singapura. “Apakah terminal di Jakarta bisa seperti itu (seperti Singapura-red),” tanya pengurus Kadin Indonesia ini.
Sayangnya, upaya baik yang dilakukan pemerintah dari sisi regulasi pabean, belum dibarengi dengan kebijakan di jalan raya (akses keluar masuk pelabuhan).
Pada Rabu (24/4), kemacetan panjang terjadi di Priok. Truk-truk petikemas mengantre sangat panjang. Bahkan informasi yang diterima Ocean Week, Kamis pagi (25/4) macet masih menjadi pemandangan menarik di seputaran pelabuhan Tanjung Priok.
Konon, macet itu disebabkan turunnya hujan, akibatnya mulai dari KBN menuju Priok macet total, begitu pula dari arah Yos Sudarso ke pelabuhan juga sama. Apalagi sistem diterminal ada kendala sehingga operasional stop mulai pukul 23.00 Wib hingga 05.30 Wib. “Tentu saja ini berakibat di gate dan lapangan penumpukan juga,” ujar Capt. Priyanto, Sekretaris DPC INSA Jaya.

Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki N. Hanafi yang dihubungi Kamis pagi (25/4), mengaku prihatin atas kondisi ini yang kelihatannya masih sulit diatasi dan dicarikan solusinya. “Tapi ini harus tetap dicari solusinya karena kejadian ini berulang, dan ini sangat menghambat pergerakan kontainer yang akhirnya menimbulkan biaya tambahan. Saya kemarin (Rabu) dapat update dari Sopir truk petikemas yang terpaksa kembali ke Poll karena kelelahan,” ungkap Yukki.
President AFFA ini juga menyatakan, mengenai area antar terminal, pihaknya pun mengaku sudah menyampaikannya dari beberapa tahun lalu, namun kejadiannya tetap saja berulang. “Saya melihat antara apa yang disampaikan dan direncanakan sering berbeda, sehingga kejadian terus berulang,” katanya lagi.
Yukki maupun Asmari minta supaya manajemen JICT dan PT Pelindo II serius mengatasi masalah ini. “Bagi kami (pelaku usaha-red) waktu sangatlah penting, termasuk keamanan, kenyamanan para pengemudi pun mesti diperhatikan,” kata keduanya.
Kata mereka, pelabuhan Patimban dinilainya bisa sebagai alternatif mengurai kemacetan di Priok. Mereka berharap pembangunan Patimban segera selesai dan beroperasi.

Sementara itu Sekjen Ginsi Erwin Taufan mengatakan sependapat dengan Asmary Herri maupun Yukki Nugrahawan Hanafi. “Pelindo II dan JICT mesti bisa mengatasi masalah kemacetan. Tapi sebenarnya ini juga jadi masalah bagi OP dan pihak Dishub maupun kepolisian. Jadi menjadi tanggung jawab bersama,” ungkapnya Kamis pagi.
Menurut Taufan, kalau terus macet, dipastikan pemilik barang (importir) akan mengeluarkan beban biaya tambahan yang pada akhirnya masyarakatlah yang terkena beban. “Kami importir pinginnya cepat, aman, nyaman, dan transparan. Barang cepat keluar dari pelabuhan, tarif kompetitif,” ujarnya.
Mengenai transhipment Jakarta, Taufan mengemukakan, sebenarnya importir tak mempersoalkan apakah pelabuhan Jakarta bisa transhipment atau tidak. Karena bagi importir yang penting barang cepat sampai tujuan, aman, tarif murah. “Mestinya Pelindo II konsentrasi saja pada service dulu, bagaimana kelancaran arus barangnya. Kalau transhipment itu urusan pelayaran lah,” kata Taufan.
Dia juga menyinggung kalau tarif tol yang masih mahal menjadi salah satu penyebab penyumbang kemacetan di Priok. “Tarif dari KBN turun Priok (pelabuhan) masih mahal, apalagi yang naik dari depan Pertamina, sampai gate di depan Polres Jakut mesti bayar lagi, itu yang kemudian membuat para sopir nggak mau lewat tol. Mereka memilih naik dari pintu depan Polres Jakut yang akhirnya membuat kemacetan,” katanya panjang lebar.
Ketua Umum Asdeki H. Muslan pun mengaku rugi dengan kemacetan yang terus menerus terjadi. Karena sebagai pengusaha depo petikemas, kelancaranlah yang menjadi keinginannya. Dengan begitu, aktivitas petikemas yang keluar masuk depo jadi lancar, bukan seperti sekarang ini.
Seperti diketahui, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menegaskan pentingnya pelabuhan untuk mendukung industri dan perekonomian agar RI bisa menjadi poros maritim dunia. Untuk itu pemerintah telah bekerja keras untuk menyediakan infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang mumpuni serta kualitas sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing pelabuhan di Indonesia.
Merujuk data World Economic Forum dalam laporan The Global Competitiveness Report 2018 rating pelabuhan Indonesia menduduki peringkat 41 dari 140 negara, sedangkan tingkat efisiensi dari pelabuhan menduduki peringkat 61.
Naiknya skor Indonesia di pilar Infrastruktur khususnya di pelabuhan membawa Indonesia menduduki peringkat 45, naik 2 peringkat dari tahun sebelumnya. Dan di Asia Tenggara, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam peringkat 4 setelah Singapura, Malaysia dan Thailand.
JICT merupakan pelabuhan ke 26 tersibuk di dunia dan merupakan pelabuhan tersibuk di Indonesia. JICT sendiri selama 20 tahun beroperasi telah menyetor pajak kepada negara dan keuntungan kepada Pelindo II senilai Rp15,4 triliun. JICT telah melayani bongkar muat peti kemas 37,3 juta TEUs dan menjadi salah satu terminal kontainer terbaik di Asia.
Melihat perkembangan infrastruktur dan fasilitas pelabuhan di Indonesia, bukan tidak mungkin pelabuhan menjadi sektor yang mampu mendongkrak daya saing dan perekonomian nasional. Seperti yang tertera dalam Global Competitiveness Report 2018, jika Indonesia mempertahankan dan meningkatkan kinerja dan daya saing akan mampu meningkatkan pendapatan yang lebih tinggi dan berkelanjutan di masa depan.
“Tapi bagaimana kalau kemacetan tak juga bisa diatasi,” ungkap semuanya. (***)