Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengenai keamanan di laut dapat menghindari tumpang tindih yang terjadi pada kewenangan penjagaan laut dan pantai.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI fraksi Golongan Karya (Golkar), Ridwan Bae mengatakan bahwa saat ini kewenangan penjagaan laut terlalu banyak. Ada Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Angkatan Laut, Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud), serta lembaga-lembaga lainnya. Karena itu, lewat revisi UU Pelayaran ini, diharapkan kewenangan tersebut bisa diserahkan kepada satu lembaga saja.
Menurut Ridwan tidak masalah jika lembaga-lembaga tersebut tetap mengawasi laut dan pantai di perairan Indonesia. Namun, ujarnya, lebih baik untuk administrasi diberikan kewenangan kepada salah satu lembaga saja. Pasalnya tumpang tindih tersebut dapat merugikan operator pelayaran niaga.
Selain itu, katanya, revisi UU Pelayaran tersebut dibahas guna memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Terlebih, UU Pelayaran sudah berjalan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade. Karena itu, sudah terjadi berbagai perkembangan permasalahan dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pelayaran yang belum diatur dalam UU tersebut.
“Oleh karena itu, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan agar dapat memenuhi kebutuhan hukum saat ini,” ujar Ridwan saat rapat kerja dengan Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ridwan menyampaikan beberapa substansi fokus dalam RUU Pelayaran. Diantaranya adalah penerapan asas kebutuhan perusahaan angkutan laut nasional untuk mendorong pertumbuhan pengangkutan laut nasional atau cabotage.
DPR RI juga menitikberatkan RUU Pelayaran pada beberapa aspek, termasuk pengangkutan pelayaran publik di laut, efisiensi biaya logistik, dan pelayaran rakyat. Selain itu, RUU ini juga mencakup ketentuan mengenai terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS).
Ridwan mengatakan RUU Pelayaran telah melalui tahapan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang dilaksanakan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Oleh karena itu, revisi UU tersebut telah ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI dalam forum rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 4 Juli 2024.
“RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran secara resmi telah ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR dalam forum Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 4 Juli 2024,” ujar Ridwan.
Masalah revisi UU Pelayaran perubahan ketiga tersebut juga membuat lima Asosiasi yakni INSA, APBMI, ALFI, GINSI, dan GPEI resah.
Mereka sepakat menolak dicabutnya ayat 1 dan ayat 5 pasal 110. Sebab, jika ayat-ayat dalam pasal itu dicabut, peran mereka dalam kontrol mengenai pentarifan kepelabuhanan tak ada lagi, padahal mereka berperan sebagai pengawasan.
Dan hal itu dinilai mereka bakal memunculkan biaya logistik tinggi, karena operator pelabuhan akan seenaknya menaikkan tarif, tanpa ada yang mengontrol.
Bahkan para asosiasi tersebut mengancam akan melakukan mogok nasional, jika DPR RI menerima usulan pemerintah (Kemenhub) dalam hal itu.
“ALFI akan mogok nasional kalau ayat 1 dan ayat 5 pasal 110 dihilangkan,” kata Akbar Djohan, ketua umum ALFI. (***)