Pembentukan Indonesia Sea and Coast Guard tak perlu harus merevisi undang-undang (UU) 32/2014 tentang Kelautan, tetapi gunakan saja UU no. 17/2008 tentang Pelayaran sebagai dasar hukumnya.
“Namun Bakamla kan tetap ngotot supaya merevisi UU 32 tahun 2014 tentang Kelautan, hanya untuk ambisinya Bakamla jadi Coast Guard. Tapi, tak semudah itu. Sebab, merevisi UU 32/2014 hanya akan menghasilkan masalah baru,” ujar Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto, pengamat kemaritiman, kepada Ocean Week, Minggu pagi (16/7).
Menurut mantan Kabais tersebut, cara merubah Bakamla menjadi Coast Guard, mudah sekali. “Rubah dasar hukum Bakamla dari UU 32/2014 tentang Kelautan, menjadi UU 17/2008 tentang Pelayaran, beres itu,” ungkapnya.
Mengapa mesti UU 17/2008 yang harus dijadikan dasar hukum nya. Karena UU yang dibuat untuk membentuk Coast Guard adalah UU 17/ 2008 tentang Pelayaran. Dan hal itu dapat ditemukan pada paragraf 14 Penjelasan UU 17/2008.
Soleman Ponto menyayangkan tidak adanya kegigihan dari Kemenhub (Menhub Budi Karya Sumadi) untuk melakukan perlawanan. Mengingat dasar hukumnya untuk pembentukan coast guard jelas di UU Pelayaran.
“Kalau tak ada upaya perlawanan, dan pencabutan pasal 278 UU 17/2008 tentang Pelayaran ini terealisasi, itu sama saja dengan membubarkan Ditjen Hubla. Karena wewenang untuk memeriksa pelanggaran pidana pelayaran atas pelanggaran pada ps 116 UU 17/2008 ada pada Dirjen Hubla. Nah, kalau dicabut ya tak ada lagi kewenangan Hubla,” jelas Soleman Ponto.
Soleman Ponto juga bercerita bahwa pada pelantikan kepala Bakamla, diistana negara pada tanggal 12 Februari 2020 lalu, Presiden Jokowi memberi perintah agar dilakukan percepatan transformasi (merubah bentuk) Bakamla menjadi Coast Guard.
“Jadi Bakamla harus berubah bentuk, dari Bakamla menjadi Coast Guard, bukan Bakamla adalah Coast Guard,” tegasnya.
Dan Bakamla, ungkapnya, tidak kenal lelah untuk mendapatkan status Indonesia Sea and Coast Guard. Setelah merasa bahwa pada kenyataannya PP 13/2022 tentang Penyelenggaran Keamanan Keselamatan dan Penegakan Hukum di wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia tidak bisa diimplementasikan, kini muncul ide untuk melakukan revisi UU 32/2014 tentang Kelautan.
Revisi ini menjadi sangat luar biasa, karena tidak hanya merevisi UU 32/2014, tetapi juga membatalkan beberapa pasal yang ada pada UU 17/2008 tentang Pelayaran, lalu kemudian pasal itu dimasukan kedalam UU 32/2014 yang akan dilaksanakan oleh Bakamla.
“Sudah tentu kalau hanya merevisi UU 32/2014 saja itu bisa saja dilakukan. Tetapi ketika revisi itu sekaligus membatalkan beberapa pasal yang ada didalam UU Pelayaran itu menjadi hal yang luar biasa,” katanya lagi.
Soleman Ponto mencontohkan, pasal 7 ayat 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, mengatur bahwa sesama Undang-undang memiliki kekuatan hukum yang sama. Sehingga sesama UU tidak bisa saling meniadakan. Sebagai contoh, materi yang ada pada UU A misalnya tidak bisa ditiadakan oleh materi yang ada pada UU B.
Dia juga khawatir jika pasal 278 UU 17/2008 itu tidak berlaku, bagaimana dengan Hubla. Padahal Pasal ini memberikan status PPPNS bagi ASN Hubla agar berwenang untuk memeriksa, memberhentikan dan menyidik pelanggaran pidana pelayaran yang diatur pada pasal 116 UU 17/2008.
“Nah bila pasal ini tidak berlaku, maka ASN Kemhub dhi Dirjen Hubla tidak berwenang lagi menyidik semua pelanggaran terhadap pasal pidana yang ada di dalam UU 17/2008 tentang Pelayaran. Kalau begitu untuk apa ada Ditjen Hubla ?. Pencabutan pasal 278 UU 17/2008 ini pada dasarnya sama saja dengan membubarkan Ditjen Hubla,” katanya panjang lebar.
Soleman Ponto juga menyampaikan bahwa penyidik itu adalah status yang diberikan oleh Undang-undang, bukan diberikan oleh seorang Kepala Badan.
Perlu diketahui, pejabat tertinggi dalam UU 32/2014 tentang Kelautan, yang melaksanakan amanat adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, bukan Kepala Bakamla. Sehingga kepala Bakamla tak memiliki kewenangan untuk mengangkat penyidik, apalagi untuk melakukan penyidikan pidana sebagaimana terjadi pada pelanggaran UU 17/2008 tentang Pelayaran.
“Kita semua tidak menghendaki Ditjen Hubla dijadikan tumbal hanya untuk memberikan status Coast Guard kepada Bakamla. Oleh karena itu, Kemenhub harus berani melawan berdasarkan UU yang ada,” kata Soleman Ponto. (***)