Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menegaskan tidak ada istilah kapal tua dalam regulasi pelayaran nasional maupun internasional, seperti isu yang mencuat setelah insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali.
“Kapal-kapal di Indonesia mengacu pada standar internasional (SOLAS) yang telah diratifikasi melalui International Maritime Organization (IMO). Jadi tidak ada istilah kapal tua secara teknis, yang ada hanya kapal tua secara ekonomis,” kata Ketua Bidang Tarif dan Usaha Gapasdap, Rahmatika, di Surabaya, dikutip dari Antara.
Rahmatika menambahkan, berdasarkan aturan internasional, kapal wajib mengganti komponen konstruksi yang aus sebanyak 17 persen dengan konstruksi baru setiap kali menjalani docking, sehingga secara teknis kapal selalu terjaga kelayakannya.
“Kapal-kapal di Indonesia rata-rata berusia 30 hingga 40 tahun, relatif masih muda dibandingkan negara lain seperti Kanada, Yunani, Italia, bahkan Filipina yang kapal ferinya banyak berusia di atas 40 tahun,” ujarnya.
Dia mencontohkan kapal feri di Hong Kong–Kowloon yang sudah beroperasi sejak 1888, MV Chilcotin di Kanada sejak 1927, dan MV Astoria di Italia yang masih aktif sejak 1948.
Menurut Rahmatika, masalah utama justru ada pada tarif angkutan penyeberangan di Indonesia yang masih sangat rendah, yakni rata-rata Rp1.033 per mil. Angka ini jauh di bawah Thailand sebesar Rp2.984 per mil, Filipina Rp1.995 per mil.
“Tarif saat ini belum sesuai perhitungan, masih kurang 31,8 persen. Ini membuat pengusaha kesulitan menutup biaya operasional, sehingga banyak perusahaan bangkrut,” katanya.
Rahmatika juga mengungkapkan, sebelum insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, kapal tersebut bahkan hendak dijual karena kesulitan keuangan.
Selain tarif, Rahmatika juga menyoroti kurangnya fasilitas penunjang keselamatan di pelabuhan seperti dermaga yang tidak layak, ketiadaan timbangan kendaraan, tidak ada portal penyaring kendaraan ODOL, serta minimnya alat deteksi barang bawaan penumpang seperti di bandara.
“Keselamatan pelayaran ditentukan empat unsur, regulator, operator, fasilitator, dan konsumen. Yang paling dominan adalah regulator. Jadi tidak adil hanya menyalahkan operator,” ujarnya. (**/ant)