Ginsi DKI Jakarta menggelar sosialisasi sekaligus diskusi tentang Efektivitas PMK 229 mengenai FTA, dan Permendag terkait pengawasan di post holder, bertempat di Santika Hotel, Rabu (25/4).
Kegiatan yang diikuti sekitar 100 importir anggota ini menghadirkan Nara sumber, antara lain dari direktorat perdagangan Kemendag, Bea Cukai, dan INSA Jaya.
Ketua GInSI Jakarta Capt. Subandi menyatakan bahwa target dari kegiatan ini supaya para importir mengetahui terhadap peraturan-peraturan baru tersebut.
“Para importir supaya paham terhadap PMK 229 itu, dan kesulitan importir dapat didengar langsung oleh pemerintah,” kata Capt. Subandi disela acara itu, menjawab pertanyaan wartawan.
Menurut Subandi, dalam implementasi PMK 229 ini, sering terjadi Miss komunikasi antara importir dan pihak bea cukai.
Dia memisalkan bahwa importir diberikan batas waktu 24 jam menyelesaikan dokumennya, terutama jalur merah. Jika dokumen belum selesai dalam waktu yang ditentukan akan terkena Notul.
“Importir kadang kesulitan untuk itu, karena terkadang pelayaran tak mau mengeluarkan true BL, apalagi kapalnya transhipment pasti dokumen telat. Nah, kalau sudah begitu importir pasti kena Notul,” katanya.
Sementara itu Adi Putra, Wakil Ketua GInSI Jakarta menambahkan, jika terkena Notul, dipastikan importir menanggung biaya yang sangat tinggi.
“Belum lama kami kena Notul hingga Rp. 1 miliar, bahkan ada yang sampai kena Rp. 4 miliar. Ini kan sangat memberatkan importir, tapi Bea Cukai nggak ada kompromi, karena hanya melaksanakan peraturan,” ungkap Adi. (**)