Tokoh kemaritiman Jawa Timur, sekaligus pengusaha pelayaran Lukman Ladjoni melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, soal kewenangan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Atas gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Pasal 59 ayat (3), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63 ayat (1), Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) pada Jumat (10/10/2025). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 180/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani dari Ruang Sidang Panel MK.
Pasal 59 ayat (3) UU Kelautan menyatakan, “Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia dibentuk Badan Keamanan Laut”.
Mengutip laman resmi mahkamah konstitusi, menyebutkan bahwa dalam persidangan, Dusri Mulyadi selaku kuasa hukum Pemohon (Lukman Ladjoni) mengungkapkan bahwa ketentuan tersebut merupakan dasar hukum langsung yang memberi legitimasi terhadap tindakan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang bersifat terbuka dan tidak terukur, yang pada akhirnya menimbulkan ancaman bagi perlindungan hak-hak konstitusional dan kepastian hukum bagi Pemohon.
Dalam kasus konkret, pada 31 Juli 2024 kapal milik perusahaan Pemohon telah ditangkap oleh Bakamla dalam “Operasi Pukat Manguni IV-24”.
Hal ini dikarenakan adanya temuan administratif, seperti tidak adanya sertifikat CLC Bunker dan perangkat keselamatan kedaluwarsa, yang tidak tergolong pelanggaran pidana, melainkan pelanggaran administratif. Kemudian Petugas Bakamla dalam Surat Perintah memerintahkan Nahkoda KM. Suryani Ladjoni untuk selambat-lambatnya pada 1 Agustus 2024 bertolak menuju Pelabuhan Bitung untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Singkatnya, Bakamla melakukan penahanan terhadap Kapal KM. Suryani Ladjoni berserta dokumen kapal dan peralatannya serta nakhoda dan ABK sejumlah 17 orang.

Menurut Pemohon, penahanan kapal oleh Bakamla tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian secara materiil dan operasional, tetapi juga hak-hak konstitusional Pemohon selaku pemilik kapal sebagai subjek hukum dalam memperoleh perlindungan hukum, kepastian hukum, dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Kehadiran Bakamla dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan ini, menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku bisnis pelayaran karena menabrak aturan undang-undang yang sudah jelas kewenangan penyidikannya oleh institusi masing-masing, seperti KPLP, Bea Cukai, dan lain yang mensyaratkan pemeriksaan harus dilakukan di Pelabuhan bukan saat berlayar,” ujar Dusri.
Pemohon menganggap Bakamla bukanlah Penyidik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP dan pada Perpres Nomor 178 Tahun 2014 disebutkan juga tidak memiliki kekuatan hukum untuk membentuk lembaga penyidik, apalagi melakukan penahanan dan penyitaan kapal tanpa adanya pelimpahan dari penyidik resmi atau perintah pengadilan sebagaimana diwajibkan oleh hukum acara pidana. Dengan demikian, tindakan menahan dan menyita kapal tanpa alasan ini jelas tergolong melanggar asas legalitas dan due process of law yang dijamin oleh konstitusi serta merusak sistem hukum laut nasional.
Sederhananya Pasal 59 ayat (3) UU Kelautan memberikan dasar pembentukan Bakamla sebagai lembaga yang diberi tugas melakukan penegakan hukum dan patroli keamanan di laut. Namun tidak merujuk secara eksplisit pada kewenangan penyidikan sebagaimana diatur dalam sistem hukum pidana Indonesia, khususnya dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Akibatnya menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan hukum acara pidana di bidang kelautan dan pelayaran.
Petitum Pemohon
Untuk itu Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (3), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63 ayat (1), Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 67 UU Kelautan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar memerintahkan pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan menyusun undang-undang khusus mengenai Bakamla. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak melaksanakan kewajiban tersebut, maka keberadaan Bakamla tidak mempunyai dasar hukum dan seluruh fungsi operasionalnya tidak dapat dijalankan.
Norma yang Diujikan
Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menanyakan dan meminta ketegasan dari Pemohon terkait butir norma yang diujikan, lima atau tiga norma yang ingin diujikan. “Selain itu, ada banyak dasar hukum yang belum dicantumkan dalam kewenangan Mahkamah,” urai Ridwan.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta agar Pemohon mencermati lagi permintaan terkait pembubaran Bakamla dan dibuat kembali yang baru. “Mestinya yang dipersoalkan di sini bukan kelembagaannya, tetapi kewenangan dari kelembagaannya,” terang Arsul.
Kemudian Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan catatan terkait pimpinan perusahaan yang diwakilkan berupa badan hukum privat. “Boleh keduanya, tetapi kalau digabung keduanya akan bertabrakan, jadi dilihat akta pendirian perusahaannya jika badan hukum ada masalah hukum, siapa yang dapat mewakili untuk berperkara di dalam dan luar pengadilan. Jika ada, maka harus ada surat kuasa yang dibenarkan oleh akta perusahaan. Setelahnya tentukan di mana letak kerugian hak konstitusionalnya, mengapa Pemohon merasa dirugikan, jelaskan dan uraikan,” terang Saldi menasihati.
Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 23 Oktober 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon. (***)