Kuala Tanjung akan sulit berkembang sebagai sebuah pelabuhan hub internasional untuk menyaingi Singapura maupun yang lain, jika pengelolaannya tak menggandeng pelayaran asing sebagaimana yang dilakukan pemerintah Malaysia di Tanjung Pelepas.
Pengamat maritim dari Samudera Indonesia, Asmary Heri menyatakan kalau sistem pengelolaan Kuala Tanjung seperti saat ini yakni oleh anak usaha Pelindo I, dipastikan sulit berkembang, apalagi jika berharap sebagai transhipment internasioanl port.
“Jangan harap kapal-kapal petikemas transhipment kesitu (Kuala Tanjung) kalau kita tak mau menggandeng perusahaan pelayaran asing, seperti Singapura maupun Malaysia,” ungkap Asmary kepada Ocean Week, Minggu malam.
Padahal, ujar pengurus Kadin Indonesia ini, Kuala Tanjung memiliki letak sangat strategis, berada satu alur pelayaran dengan PSA Singapura maupun Tanjung Pelepas Malaysia.
“Saya lihat Kuala Tanjung belum optimal. Makanya jangan sampai salah urus, sayang Mega proyek pelabuhan itu akhirnya jadi tak berkembang,” ucapnya lagi.
Dia berharap pemerintah bisa memikirkan masalah Kuala Tanjung tersebut. Mengingat hingga sekarang hinterland sebagia penunjang belum banyak. “Kawasan industri yang akan dibangun juga tak kunjung terealisasi,” tuturnya.
Saat ini, lalu lintas kapal di Selat Malaka, setiap tahun tercatat mencapai lebih dari 100 ribu kapal dengan mengangkut 90 juta TEUs kontainer.

“Singapura dan Malaysia, mampu menyedot sekitar 40 juta TEUs, Thailand 10 juta TEUs, sedangkan Indonesia tidak lebih dari satu juta TEUs,” katanya.
Padahal Indonesia punya garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni sampai 600 mil. “Ini jelas harus dibenahi ke depannya,” kata pengamat transportasi publik Bambang Haryo seperti dikutip dari Media Indonesia, Minggu (17/11).
Dia mengungkapkan selama ini kapal asing tidak tertarik untuk transshipment di pelabuhan-pelabuhan Indonesia di sepanjang Selat Malaka karena belum memiliki fasilitas bongkar muat kontainer yang memadai. Itu membuat pelayanan tidak optimal dan tarif menjadi mahal.
Kedalaman alur pelabuhan Indonesia di Selat Malaka juga belum memadai untuk sandar kapal besar sehingga tidak bisa menjadi pelabuhan hub internasional.
Bambang mengatakan pengembangan pelabuhan dan industri masih terfokus di Jawa, yang justru tidak dilalui banyak kapal-kapal dunia.
“Pemerintah harusnya menyediakan kawasan industri terintegrasi dengan pelabuhan guna menarik ribuan investasi dari Asia Timur, Eropa, Amerika dan Australia,” ujarnya.
Kata Bambang, jika pemerintah lebih memberi perhatian, kawasan itu bisa mendatangkan manfaat yang sangat besar.
“Indonesia bisa menjadi hub, sumber bahan baku untuk industri. Kalau ini dapat diwujudkan, devisa dari transshipment dan kegiatan industri akan sangat besar hingga ribuan triliun rupiah serta menyerap jutaan tenaga kerja lokal, sekaligus menumbuhkan ekonomi di kawasan tersebut,” pungkas dia.
Mestinya, tambah Asmary Heri, pemerintah Indonesia bisa belajar dari apa yang dilakukan Malaysia dan Singapura. “Kita punya potensi, tapi kenapa sulit dalam implentasinya,” tanya Asmary. (**)