Indonesia National Shipowners Association (INSA) Jaya menyoroti dua problem yang dihadapi pelabuhan Tanjung Priok yakni kontainer longstay dan pembatasan pelayanan kapal akibat kebijakan Yard Occupancy Ratio (YOR) 65%.
Hal itu disampaikan dalam rapat koordinasi dan evaluasi yang dihadiri oleh KSOP Tanjung Priok, PT Pelindo, Bea Cukai, Teminal IPC TPK, TPK Kodja, JICT, Adipurusa, TSJ, MAL, Perusahaan Pelayaran, dan Pengurus DPC Insa Jaya.
“Kedua isu itu telah berdampak langsung terhadap kelancaran arus logistik nasional dan operasional industri pelayaran, baik domestik maupun internasional,” ujar Mohamad Erwin Y. Zubir, Sekretaris DPC INSA Jaya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Ocean Week, Kamis malam.
Menurut Erwin (panggilannya), kontainer Longstay merupakan masalah lama yang akan menjadi Bom Waktu bagi Logistik Nasional.
Jumlahnya terus meningkat seiring dengan kompleksitas administrasi, terbatasnya infrastruktur pendukung, serta minimnya integrasi antar lembaga.
“Dalam banyak kasus, kontainer bermasalah tidak lagi sekadar barang tak terurus, melainkan menjadi beban struktural bagi kelancaran operasional pelabuhan,” ungkapnya.
Kata Erwin, penyebabnya karena keterbatasan kapasitas penumpukan baik di Terminal maupun Beacukai yang tidak seimbang dengan pertumbuhan impor.
“Proses perizinan dan clearance yang masih terdapat kendala berkaitan dengan regulasi. Barang Tidak Dikuasai (BTD) yang tak kunjung dilelang atau dimusnahkan. Barang rusak, kadaluarsa, atau berbahaya yang memerlukan penanganan khusus lintas lembaga.
Tanggung jawab biaya yang tidak jelas, membuat banyak instansi ragu bertindak karena berkaitan dengan celah hukum dari barang,” jelasnya.
INSA Jaya mengusulkan dibentuk tim taktis 24/7 lintas instansi, termasuk Pelindo, Bea Cukai, KLHK, dan aparat penegak hukum.
Terminal Petikemas, Perusahaan Pelayaran, KSOP Tanjung Priok dan Beacukai melakukan pendataan serta melakukan Tindakan yang dapat mengurangi container longstay.
Selain itu, mengusulkan agar Dana darurat operasional dari Kemenkeu melalui mekanisme SKB, yang dapat diganti dari hasil lelang kontainer BTD.
Konsorsium multi-sektor untuk efisiensi pemindahan dan pelepasan kontainer bermasalah secara massal.
YOR 65 Persen
Kebijakan YOR ini, kata Erwin, meskipun bertujuan mencegah kepadatan yang berdampak kemacetan, dalam praktiknya justru akan menimbulkan antrean kapal, keterlambatan sandar, hingga beban tambahan biaya bagi Perusahaan pelayaran.
“Kami (INSA) Jaya minta kebijakan ini perlu dikaji ulang, bukan untuk dihapuskan, tetapi disesuaikan dengan kondisi faktual pelabuhan secara holistik antara sisi laut dan sisi darat tidak terjadi hambatan yang akan menimbulkan permasalahan baru,” ucapnya.
Menurut Erwin, YOR bukan menjadi batasan pelayanan kapal. Implementasi sistem digital YOR & slot sandar real-time, yang dapat digunakan bersama untuk perencanaan operasional dan kebijakan pelabuhan.
INSA Jaya menilai bahwa penyelesaian dua isu ini tidak dapat dilakukan secara sektoral. Dibutuhkan pendekatan kolaboratif, responsif, dan berbasis data.
Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, operator pelabuhan, dan masyarakat logistik adalah kunci utama dalam membangun pelabuhan yang modern, adaptif, dan efisien.
“Kami percaya bahwa Tanjung Priok bukan hanya pelabuhan, tapi simbol dari kekuatan logistik nasional. Bila kita berhasil mengatasi hambatan di sini, itu akan menjadi fondasi kuat untuk memperbaiki rantai pasok Indonesia secara keseluruhan,” kata Erwin.
Insa Jaya juga menyarankan agar Pemda DKI melakukan kajian ulang tentang kemampuan jalan raya di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, juga pemberian perizinan Depo Peti Kemas, Penerapan ketat berkaitan Amdal Lalin terhadap Depo Peti Kemas di Wilayah Cakung dan Marunda karena dampak kemacetan bukan hanya di sebabkan oleh Pelabuhan Tanjung Priok tapi kemungkinan besar dampak dari antrian di depo peti kemas.
Erwin berharap pertemuan kolaborasi antar stakeholder ini bisa menjadi solusi bagi problematika yang ada di pelabuhan Tanjung Priok. (***)