GINSI setuju penghapusan uang jaminan kontainer yang selama ini dikenakan oleh pelayaran. Sebab, meski uang tersebut dikembalikan, namun tetap saja menjadi beban importir. Tetapi, problem yang dihadapi para importir bukan hanya masalah itu, melainkan juga pada soal reaper kontainer di depo petikemas.
Importir di Jakarta misalnya, tak jarang harus mengeluarkan biaya tambahan antara Rp 600 ribu – Rp 1 juta, untuk ongkos reaper kontainer yang ditagihkan oleh pihak depo petikemas. Padahal, kata Capt. Subandi, Ketua Umum GINSI versi Munaslub di Bali, mestinya ada klarifikasi dari Depo, bukan serta merta menarik biaya tanpa ada hasil survey.
“Kami (Ginsi) tidak keberatan ada biaya reaper kontainer, tapi mesti jelas, dimana mulai terjadi kerusakan. Apakah kontainer itu rusak mulai dari pelabuhan asal, atau setelah dibongkar di terminal, atau dimana. Itu mesti berdasarkan hasil rekomendasi surveyor. Tapi itu kan nggak dilakukan. Makanya kami keberatan, karena tagihannya cukup besar, antara Rp 600 ribu hingga Rp satu juta,” katanya kepada Ocean Week, di Bali, Kamis pagi (14/11).
Subandi meminta kepada pemerintah supaya ikutan membuat aturan yang jelas mengenai masalah ini, siapa sebenarnya yang berhak dan memperoleh kuasa sebagai surveyor dalam kerusakan kontainer ini.
Subandi menambahkan bahwa sampai saat ini importir masih dikutip uang jaminan kontainer impor dengan nilai bervariatif oleh beberapa pelayaran, dan dirasa sangat memberatkan pemilik barang.
“Sudah bukan rahasia umum lagi kalau sampai saat ini masih ada perusahaan pelayaran asing yang juga sebagai pemilik depo petikemas kosong di dalam negeri yang mengenakan biaya-biaya itu. Pelayaran asing itu yang menetapkan uang jaminan, dan menyurvei kerusakan walaupun seolah-olah ada pihak ketiga yang melakukan survei tersebut,” ungkap Subandi, didampingi Budiatmoko, Ketua BPD GINSI Jawa Tengah.
Bahkan, katanya, tarif perbaikan kontainer ditetapkan sepihak, tidak ada standartnya dan langsung memotong biaya perbaikan dari uang jaminan itu.
Subandi mengemukakan ada praktik akal-akalan dari pelayaran asing itu. Klaim kerusakan selalu saja dibebankan kepada penyewa/pemakai atau importir. “Padahal proses kontainer dari mulai dimuat isinya (stuffing) di pelabuhan asal sampai kontainer kosongnya dikembalikan ke depo pelayaran di negara tujuan (Indonesia) ada beberapa pihak yang terlibat antara lain pelayaran, terminal asal (pelabuhan), terminal tujuan, trucking (importir), dan depo,” jelasnya.
Sementara itu, Budiatmoko menyatakan hal yang sama dengan Subandi. Dia mengatakan keberatannya terhadap biaya reaper kontainer yang dikenakan oleh pihak depo petikemas, karena pengenaan biaya tersebut menjadi beban importir dan tidak jelas.
“Kapan kontainer itu dinyatakan rusak dan dimana, tidak ada survey untuk itu. Karena mayoritas keterangan dari terminal petikemas biasanya good condition. Tapi begitu di depo kontainer dinyatakan rusak, sehingga dikenai biaya repaer kontainer,” ujarnya kepada Ocean Week, Kamis pagi, di Bali.
Menurut dia, biaya repaer kontainer di Jawa Tengah (Semarang) bervariasi antara Rp 200-300 ribu. “Kami sudah minta ini untuk diomongin dulu ke GINSI, karena beban biayanya adalah importir,” ungkapnya.
Seperti diketahui, meskipun penghapusan uang jaminan kontainer impor itu sudah masuk pada Paket Kebijakan Ekonomi XV, namun prakteknya tidak dipatuhi oleh pelayaran asing.
“Kami meminta Satgas yang sudah terbentuk itu dapat mengawasi dan menindaknya karena tidak jalannya pengawasan aturan penghapusan uang jaminan kontainer impor yang selama ini menjadi beban tambahan biaya logistik nasional,” kata Subandi. (***)