Sejumlah praktisi pelayaran berkumpul di markas Corp Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP), Jakarta Utara, pada Kamis sore (15/6/2023), mendiskusikan perkembangan dan banyak masalah yang terjadi di seputaran bisnis kemaritiman.
Baik usaha pelayaran, bongkar muat, pelaut, mahalnya cost logistik, mahalnya biaya komponen tarif di pelabuhan, serta tata kelola badan usaha pelabuhan (BUP).
Diskusi yang berlangsung hampir dua jam itu kemudian sempat pula membahas pelaksanaan fuel surcharge dan pemberlakuan zonasi, khususnya di pelabuhan Tanjung Priok.
Dalam obrolan santai tersebut, para praktisi pelayaran itu sepakat meminta supaya pemberlakuan zonasi dan pengenaan fuel surcharge dievaluasi kembali, bahkan dihilangkan.
Sekjen CAAIP, Capt. Zaenal A. Hasibuan menegaskan, dalam kaitannya dengan biaya fuel Surcharge yang ditagihkan oleh badan usaha pelabuhan kepada kapal pengguna jasanya, sebenarnya ini sudah pantas dihapus.
“Mengapa demikian?. Karena pada kenyataannya di pasaran tersedia berbagai macam harga fuel yang bisa kita beli. Semua perusahaan pelayaran menggunakan fuel bukan hanya badan usaha pelabuhan saja yang menggunakan fuel, jadi mengenai ketersediaan harga fuel yang bervariasi bukan rahasia lagi. Di sinilah kejelian pelaku usaha Pelabuhan untuk memilih fuel yang lebih efisien, serta mengoperasikan kapalnya dengan cara yang efisien agar tidak manja untuk selalu meminta kenaikan harga setiap kali ada kenaikan biaya operasional expenditurenya,” ungkapnya.
Menurut pengamat kemaritiman nasional ini, dengan tetap meminta fuel surcharge kepada perusahaan pelayaran pengguna jasanya, menggambarkan bahwa badan usaha Pelabuhan tidak bisa beroperasi secara efisien, dan tidak memperdulikan objektif pemerintah untuk menekan biaya logistik nasional.
“Cara yang paling baik adalah dengan menghapus fuel surcharge tersebut tanpa harus diminta oleh pengguna jasanya. Terlebih jika kapal yang digunakan oleh badan usaha pelabuhan adalah merupakan anak usahanya sendiri, tentu efisiensi bisa dilakukan dengan berbagai macam cara,” jelas Capt. Zaenal.
Menanggapi hitungan biaya berdasarkan zonasi, pengusaha pelayaran ini pun mengungkapkan bahwa cara penghitungan durasi jasa pandu tunda menggunakan sistem zonasi sebaiknya juga diganti. Sistem ini adalah cara primitif seperti taxi gelap yang tidak memiliki argometer, padahal bentuk transparansi biaya pasti mengacu pada real time dari jasa yang diberikan.
“Hal seperti ini terjadi karena memang di Pelabuhan Utama monopoli Pelindo dengan anak usahanya seperti melebihi kekuasaan Otoritas Pelabuhan. Dengan tidak pernah dibukanya peluang Badan Usaha Pelabuhan lainnya, maka mimpi menekan biaya logistik nasional adalah mimpi yang mustahil dicapai. Dalam bisnis pelayaran di saat ada perubahan biaya operasional expenditure yang signifikan masing-masing perusahaan akan mencari kiat untuk beroperasi lebih efisien lagi. Karena cara mempertahankan margin bisa dilakukan dengan meningkatkan efisiensi, bukan cuma hanya menambahkan harga jasa yang diberikan,” katanya.
Seperti diketahui bahwa Pelabuhan Tanjung Priok memberlakukan zonasi penundaan kapal domestik maupun luar negeri, mulai 1 Februari 2018 lalu.
Untuk kapal pindah dari dermaga ke dermaga lain, zona dikenakan 2 jam. Sedangkan untuk kapal pindah dari dermaga ke dermaga dalam satu zona yang sama, maka jam yang dikenakan 1,5 jam.
Tapi, untuk kapal darurat penagihan jam sesuai real pelayanan plus mob demob yang berlaku ke dari dermaga yang dituju, berlaku untuk semua kapal dalam dan luar negeri.
Diskusi di CAAIP itu semakin menarik, ketika Munif, SH, Banu Amza, serta Akbar dari pengguna jasa pelabuhan (Penjaspel), menyampaikan jika pelayaran di pelabuhan Tanjung Priok pun mengeluhkan tingginya biaya fuel surcharges yang ditarik oleh BUP Pelindo Regional 2 Tanjung Priok, karena perhitungannya didasarkan pada zonasi.
Sebenarnya, Pelayaran ingin supaya pengenaan surcharges tersebut berdasarkan riil penggunaan penundaan kapal.
“Penggunaan fuel surcharges sebaiknya tak berpatokan pada jam zona, tapi riilnya saja,” katanya.
Mereka mencontohkan, kapal masuk ke terminal 2, zonasinya dihitung 2,5 jam (masuk) kali 2 jam (keluar) = 4,5 jam pemakaian BBM kapal tunda dengan 2×620 HP=1200.
Dulu per jam 110 liter x 4,5 jam = 500-an liter, harga solar dihitung Rp 18000, selisihnya 3500 (kesepakatan Rp 14.500) x 500 liter = Rp 1.750.000. “Yang ditagihkan oleh Pelindo sebesar Rp 3.331.000 (PPN), nah dari mana hitungan angka itu,” ungkapnya.
Menurut mereka, jika penggunaan tunda dengan HP 2200×2, pengenaan bayar pasti lebih besar lagi. “Itu makanya kami minta surcharges dihitung penggunaan riilnya saja,” ujarnya lagi.
Untuk diketahui, pada tahun 2021 tercatat penggunaan BBM untuk pelayanan tunda, pandu, dan kepil sebesar 6.387.930 liter, dimana penggunaan BBM untuk kapal tunda sebesar 5.926.598 liter, untuk kapal pandu sebesar 443,434 liter, dan untuk kepil 17.898 liter.
Munif juga mengingatkan bahwa tarif untuk Loa s/d 100 M itu tarifnya 2 juta perjam / kapal tunda. Kalau pakai nya 1 kapal tunda selama 3 jam pemakaian maka hitungannya 1 kapal tunda x Rp. 2 juta x 3 jam pemakaian.
“Kalau pakainya 2 kapal tunda maka tarif nya 2 kapal tunda x Rp. 2jt x 3 jam pemakaian,” ungkapnya.
Tapi, ujarnya, untuk Loa di atas 100 tarifnya 3 juta perjam / kapal tunda, kalau pakai nya 2 kapal tunda maka hitungannya 2 kapal tunda x Rp 3 jt x jam pemakaian.
“Mahal amat ya tarifnya kalau ikuti zona seperti pelabuhan 1 sesuai zona keluar masuk 5 jam berarti biaya tunda aja sudah Rp 10 juta, belum tarif surcharge,” katanya prihatin.
Karena itu, dalam diskusi tersebut, mereka sepakat supaya biaya fuel surcharge dan zonasi itu dievaluasi lagi, bahkan kalau perlu ada salah satunya yang dihapus. (***)