Wacana merevisi Undang-undang (UU) no. 17/2008 tentang Pelayaran mendapat penolakan keras dari Indonesian National Shipowners’ Association (INSA). Mereka mengkhawatirkan bahwa wacana merevisi UU ini disusupi oleh kepentingan negara lain.
Demikian diungkapkan Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, kepada Ocean Week, Kamis pagi ini. “Sampai saat ini belum seluruh amanat dalam UU No 17/2008 tentang Pelayaran dijalankan misalnya amanat untuk membentuk sea and coast guard sebagai badan tunggal penjaga laut dan pantai,” katanya.
Carmelita khawatir revisi UU Pelayaran terutama jika terkait dengan pencabutan cabotage. “Amerika yang negara besar saja masih mempertahankan cabotage. Makanya Indonesia juga harus pertahankan itu, apakah kita tidak memikirkan dampaknya, jika dibuka pasti berdampak pada usaha supprting pelayaran, seperti galangan, asuransi, crew kapal, pelabuhan, dan banyak lagi. Apakah kita mau biarkan mereka susah hidup juga, mau matikan pelayaran domestik,” ujarnya kesal.
Dia mengingatkan kepada semuanya bahwa dulu yang membantu angkatan laut (AL) untuk merebut Irian adalah pelayaran nasional. “Kita (pelayaran nasional) juga pernah jaya, dan terpuruk di tahun 85-an akibat kebijakan scrapping. Kita bisa mulai merangkak lagi tahun 2005, meski belum bisa berjaya seperti dulu hingga di luar negeri. Belum juga bangkit sudah mau dimatikan lagi, tolong yang mengusulkan merevisi UU Pelayaran memikirkan dampak dari itu,” ungkapnya.

Meme (panggilannya) mengatakan, asas cabotage dapat dimaknai sebagai kedaulatan negara (sovereign of the country). Kebijakan ini, menurut dia, sudah terbukti sukses menjaga kedaulatan negara dari aspek keamanan dan pertahanan negara.
“Sulit dibayangkan kalau kita sebagai negara maritim, justru kapal-kapal yang ada di Indonesia adalah kapal berbendera negara lain. Lalu jika terjadi keadaan force majuere, seperti tsunami, apakah kapal berbendera negara lain itu akan membantu evakuasi korban? Justru kapal-kapal itu yang pertama pulang ke negara mereka kalau itu terjadi,” katanya.
Dia juga menilai asas cabotage telah berdampak positif bagi ekonomi nasional, khususnya di sektor pelayaran dan sektor terkait lainnya. Hal ini terbukti dengan bertambahnya jumlah armada pelayaran nasional, dan kini pelayaran nasional juga telah mampu melayani distribusi seluruh angkutan kargo domestik dari Sabang hingga Merauke.
Menurut Meme, Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan asas cabotage. Beberapa negara lain sudah lebih dulu menerapkan asas cabotage, seperti, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Australia, atau Filipina.
“Atas beberapa pertimbangan ini, maka asas cabotage tidak boleh diganggu gugat, dan wajib dipertahankan,” paparnya.
Dengan belum seluruh amanat UU Pelayaran dijalankan, katanya, tentunya dampak positif atau negatif dari aturan itu belum benar-benar terasa bagi seluruh pihak terkait sektor pelayaran.
“Karena amanat dari UU belum berjalan seluruhnya, jadi kita belum dapat merasakan dengan total, apakah UU yang ada ini masih cocok atau sudah tidak cocok dengan keadaan di lapangan saat ini” katanya.
Sampai saat ini, pengusaha pelayaran nasional menilai UU Pelayaran yang ada masih relevan diberlakukan. Bila ada kekurangan dapat dilakukan perubahan dengan mengubah peraturan turunannnya, seperti peraturan menteri, tanpa harus merevisi UU Pelayaran.
“Yang dibutuhkan para pengusaha pelayaran nasional kan kepastian usaha, dengan kepastian hukum dan kebijakan di sektor pelayaran. Agar pelaku usaha dapat berusaha lebih tenang,” tuturnya.

Sementara itu, Lukman Lajoni, pengamat kemaritiman asal Jawa Timur menegaskan bahwa asas cabotage itu harga mati. “Siapa yang mencoba mencabut asas cabotage, ngaco mereka, itu perlu dipertayakan nasionalismenya, karena cabotage itu untuk pemersatu wilayah satu dengan daerah lainnya di Indonesia,” ungkapnya saat dihubungi Ocean Week, Kamis pagi ini. Dia meminta masih banyak yang perlu dipikirkan di luar cabotage. (***)