Indonesia National Shipowner Association (INSA) minta supaya pemerintah (Kemenhub) menunda pelaksanaan PM no. 7 tahun 2019, serta meninjau kembali peraturan mengenai AIS (automatic identification system) agar tidak menimbulkan gejolak yang kurang produktif dilapangan.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto kepada Ocean Week, Minggu malam, saat dimintai tanggapan sehubungan rencana pemerintah (Kemenhub) menerapkan kewajiban penggunaan AIS bagi setiap kapal domestik maupun asing yang melayari perairan Indonesia, mulai Agustus 2019 mendatang.
“Selama ini INSA selalu mendukung langkah pemerintah dalam membuat regulasi keselamatan. Akan tetapi kali ini dalam regulasi mengenai penggunaan AIS untuk setiap kapal yang berlayar di Indonesia, (PM no 7 tahun 2019), Kami perlu menanyakan pada pemerintah apakah regulasi ini sudah sesuai atau harmony dengan regulasi internasional IMO maupun Solas,” ujar Meme (panggilan familiarnya).
Menurut sepengetahuan Carmelita, IMO resulution A 1052 (27) mengenai penggunaan AIS itu sudah diganti dengan IMO resolution 1119 (30) pada Desember 2017. Dimana IMO tidak mewajibkan kapal NCVS menggunakan AIS. “Masih banyak kapal-kapal Pelra (Pelayaran Rakyat) di Indonesia yang menunjang perekonomian maritim. Jangan sampai mereka akan berhenti akibat kebijakan ini, karena itu, INSA berharap rencana pemberlakuan aturan itu pada Agustus ditunda, atau PM no. 7/2019 tersebut ditinjau kembali,” ungkapnya lagi.

Sebelumnya, para pebisnis Pelayaran mempertanyakan rencana pemberlakuan AIS (automatic identification system) setiap kapal domestik maupun kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia, mulai Agustus 2019 mendatang.
Pro kontra terhadap implementasi PM Nomor 7 Tahun 2019 yang mengatur tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia serta pengawasan pengaktifan AIS tersebut, masih menjadi perdebatan di kalangan pelayaran.
“Bagaimana kalau kapal dengan GT dibawah 35, atau kapal Pelra,” kata Ujang, panggilan akrab Munif, pengurus DPC INSA Jaya, saat membuka obrolan dengan Ocean Week, di Kantor INSA Jaya, Jakarta Utara, baru-baru ini, menyoal pemberlakuan AIS di bulan Agustus nanti.
Ujang yakin, pasti rencana tersebut banyak tidak diketahui oleh pelayaran, terutama pengusaha kapal-kapal kecil (Pelra, kapal ikan). “Mungkin juga pelayaran niaga dan kapal penyeberangan pun belum tau akan diberlakukan PM 7 itu dalam waktu dekat,” ujar Ujang.
Ujang juga berharap Menhub Budi Karya Sumadi meninjau ulang rencana pemberlakuan AIS di bulan Agustus nanti. “Kalau perlu batalkan rencana itu. Pak Menhub (Budi Karya Sumadi-red) pasti nggak mau ada gejolak saat aturan tersebut dilaksanakan,” tutur Ujang.
Tapi, Capt. Zaenal Arifin Hasibuan, pengamat kemaritiman nasional, menyatakan AIS sangat berguna bagi pelayaran. “Saya sepakat soal itu,” ungkapnya saat dihubungi Ocean Week, Minggu pagi (21/7).

Namun, kata Zaenal, mestinya PM nomor 7 itu bisa dibuat lebih baik lagi dibanding yang sekarang, karena kesannya sangat terburu-buru sekali, sehingga banyak point yang tidak relevan didalamnya. Dia mencontohkan, jika menilik pada pembukaan PM no. 7 tahun 2019 soal AIS, di bagian Menimbang tertulis, IMO resulition A 1052(27)…padahal resolusi ini sudah dicabut/revoked pada November tahun 2017, dan diganti dengan resolusi 1119 (30) pada Desember tahun 2017.
“Isi dari resolusi itu juga sebenarnya tidak relevan dengan pemberlakuan AIS, isinya itu soal Tokyo MOU,” ungkapnya lagi. Zaenal menyatakan, pada point Menimbang yang ke-2 soal TOKYO MOU, ini juga tidak ada relevansi sama sekali dengan pemberlakuan AIS. “Tokyo MOU adalah mengatur tata cara Port State Control bagi negara-negara anggota Tokyo MOU di Asia Pasific,” ujarnya.
Yang parah lagi, kata Zaenal, di Bab III pasal 9 mengenai sanksi. “Pada point 2 menyebutkan Nakhoda yang lalai dalam memberikan informasi di AIS bisa dihukum dicabut Certificate of Endorsment-nya. Ini sangat berbahaya, karena AIS bukan alat navigasi utama,” ucapnya mempertanyakan.
Menurut pengurus DPP INSA tersebut, hal mendasar lain adalah pasal pidana hanya ada di Undang Undang, yaitu UU no. 17 tidak boleh di PM-nya. “Yang harus diingat bahwa ijazah Nakhoda hanya bisa dicabut setelah melewati sidang di Mahkamah Pelayaran, yang menyidangkan kesalahan Kode Etik Nakhoda,” katanya.
Oleh karena itu, ungkap Zaenal, sebaiknya Menhub Budi Karya Sumadi mempertimbangkan untuk mencabut PM no. 7/2019 tersebut, jangan sampai ketika PM tersebut dilaksanakan, justru menimbulkan gejolak di lapangan.
“Belum juga ada jaminan apakah alat AIS tersedia di pelosok Indonesia pada Agustus nanti, disaat ada puluhan ribu kapal yang berebut membeli alat itu. Dan akibat alat AIS tak ada, maka akan dijadikan alasan oleh oknum petugas menangkap serta tidak mau memberangkatkan kapal, sebelum melengkapinya, dan itu akan banyak kapal nongkrong di pelabuhan,” ucapnya panjang lebar.
Zaenal menuturkan, sebenarnya Pelayaran sudah memiliki prioritas alat navigasi yang utama, yaitu Magnetic Compass, Radio VHF, Peta Laut, Teropong, dan GPS Binocular.
Zaenal menyarankan supaya kinerja pemerintah (Hubla) diperbaiki saja, dari pada terus menerus membebani pelayaran dengan aturan baru.
Sudah Disosialisasi
Sementara itu, terkait dengan rencana pemberlakuan PM 7/2019, pihak Kemenhub sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder dan instansi terkait, pada tanggal 15 Juli lalu.

Direktur Kenavigasian Hubla, Basar Antonius menyatakan bahwa dengan diberlakukannya Peraturan Menteri tersebut, maka seluruh kapal berbendera Indonesia serta Kapal Asing yang berlayar di Perairan Indonesia wajib untuk memasang dan mengaktifkan AIS serta berkewajiban memberikan informasi yang benar.
“Tipe AIS sendiri terdiri dari dua kelas, yakni AIS Kelas A dan AIS Kelas B,” ujar Basar.
AIS Kelas A, wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia.
Sedangkan AIS Kelas B juga wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal-kapal berbendera Indonesia dengan ketentuan antara lain, Kapal Penumpang dan Kapal Barang Non Konvensi berukuran paling rendah GT 35, serta Kapal yang berlayar antar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
“Selain itu, yang wajib memasang dan mengaktifkan AIS Kelas B adalah Kapal Penangkap Ikan yang berukuran paling rendah GT 60,” ujarnya.
Basar menambahkan bahwa Nakhoda juga wajib mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar pada AIS, seperti misalnya Informasi terkait data statik dan data dinamik kapal untuk AIS Kelas A.
“Sedangkan untuk AIS Kelas B, informasi yang wajib diberikan terdiri dari nama dan jenis kapal, kebangsaan kapal, MMSI, titik koordinat kapal, dan kecepatan serta haluan kapal,” ungkapnya.
Basar mengungkapkan, pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi Peraturan Menteri ini akan dilakukan oleh Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalaui shore base station, dalam hal ini adalah Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Stasiun Vessel Traffic Services (VTS) milik Ditjen Perhubungan Laut.
“Pengawasan dan pemantauan akan kita lakukan secara langsung (terrestrial) maupun melalui satellite guna meningkatkan keselamatan, keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim,” kata Basar. (***)