Kapal kontainer kapasitas 8.500 TEUs milik CMA CGM, Minggu (9/4) masuk ke pelabuhan Jakarta, untuk trial (uji coba) pengapalan langsung (direct) dari Jakarta ke luar negeri tanpa melalui pelabuhan Singapura.
Menhub Budi Karya Sumadi, direncanakan akan hadir besuk Minggu untuk melihat bagaimana aktivitas bongkar muat kontainer dari dan ke kapal tersebut. Sebelum nanti pada akhir April 2017, diresmikan oleh Presiden Joko Widodo mengenai program direct call atau Jakarta Transhipment Port.
Beragam komentar dari berbagai kalangan usaha terkait kepelabuhanan pun mengemuka. Misalnya dari Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Perhubungan Asmary Herri, Ketua Umum ABUPI Aulia Febridengan adanya rencana tersebut
Kepada Ocean Week, di Semarang, Yukki menyatakan masuknya kapal kontainer asal Prancis, CMA-CGM Titus berkapasitas hingga 8.500 TEUS perlu didukung. “Semoga direct call Jakarta ini dapat berlangsung lama dan berkelanjutan,” katanya.
Meski, ujar Yukki, kapal ukuran 8500 TEUS bukan kapal terbesar di dunia saat ini. Tapi, sudah baik untuk memulai secara bertahap, dan nantinya naik ke 10.000 TEUS, meski prinsip Ship Follow the Trade tetap berlaku,” ucap Yukki.
Hal itu pula yang ditengarai Asmary Heri. Kata Direktur Samudera Indonesia Shipping ini, kalau cuman kapal berkapasitas 5.000 sampai dengan 8.000 TEUs itu baru anaknya raksasa. “Kapal raksasanya yang beneran itu ukurannya mencapai 20.000 TEUs,” kata Asmary.
Tetapi, bukan itu masalahnya. “Sejauhmana ketahanan kapal besar itu masuk ke Priok, karena kita juga belum tahu berapa banyak kontainer yang dibongkar muat dari dan kesini. Kalau tidak memenuhi target hitungan pelayaran, pasti tidak bertahan lama,” ungkap Asmary.
Ungkapan senada juga dikemukakan Aulia Febri. Dia pun mempertanyakan berapa TEUs kontainer yang dibongkar muat. “Jika dibawah 70% kapasitasnya, maka tak akan bertahan lama. Pasti diganti dengan kapal yang ukurannya lebih kecil,” jelasnya.
Bagi Febri, mau kapal raksasa atau kapal ‘liliput’ (kapal kecil), yang penting adalah regulitasnya. “Kalau kapal raksasa tapi cuma sekali dalam sebulan, akan lebih bagus kapal kecil namun seminggu 4 call,” ujarnya.
Sementara itu Arwinas mengungkapkan, pelayaran itu pasti sangat penuh perhitungan sebelum memutuskan menyinggahi sebuah pelabuhan.
“Kalau kapal itu menyinggahi JICT tapi mesti mengurangi jumlah muatannya dari kapasitas terpasangnya, ini menjadi pertimbangan sekali. JICT juga harus bisa meningatkan produktivitas bongkar muatnya saat melayani kapal ukuran besar. TEUs per jamnya tak boleh sama dengan saat melayani kapal ukuran kecil, disinilah Singapura dan Port Klang lebih unggul dibandingkan Tanjung Priok,” kata Arwinas.
Namun demikian, semua pihak berharap, setelah berhasil mendatangkan kapal besar tersebut, Pelindo II harus memastikan dapat merawat dan mempertahankan keberadaan layanan dari kapal besar itu dengan memberikan insentif-insentif tertentu.
Tetapi pemberian insentif – insentif tertentu kepada perusahaan pelayaran akan lebih menjadikan biaya lebih kompetitif dibandingkan dengan pelabuhan lainnya, seperti Singapura. Kalau tidak, mimpi untuk mewujudkan Priok sebagai transhipment port hanya akan berakhir pada mimpi saja.
Jangan sampai pengalaman yang lalu-lalu berulang kembali untuk kapal CMA CGM ini. Mengingat barang (kontainer) yang akan diangkut tidak memenuhi target hitungannya. (***)