Setelah kapal ‘raksasa’ CMA CGM transshipment di Jakarta diresmikan Menhub Budi Karya Sumadi pada tanggal 23 April 2017 untuk layanan Java Sea Express (JAX) dan Pendulum Loop I (PEI), mayoritas dunia usaha mengaku bangga, karena pelabuhan Tanjung Priok kini mampu membuktikan jika pelabuhan ini bisa disandari kapal berkapasitas 8.500 TEUs lebih.
Bahkan, ‘mimpi’ ini pun membawa Duta Besar Perancis untuk Indonesia, President Directore CMA CGM Farid Belbouab, Komisi V DPR RI Anton Sihombing, Keta Umum INSA Carmelita Hartoto, Dirjen Hubla Tonny Budiono, Deputi Menneg BUMN Pontas, para direksi Pelindo II, direksi Pelindo III, serta para pengusaha kepelabuhanan hadir menyaksikan kapal Otello yang membongkar muat 1.551 TEUs di dermaga JICT tersebut.
Cuma, dunia usaha masih ragu dan mempertanyakan sejauh mana kelangsungan akan kapal raksasa itu sanggup melayani rute Jakarta-Los Angeles Amerika tersebut. Sebab, pengalaman menggambarkan bahwa dulu juga sudah pernah ada direct call, sebut saja Maersk Line, MSC, APL, dan sebagainya yang paling lama hanya mampu bertahan 6 bulan, karena barang yang diangkut tak seimbang dengan besaran kapal yang datang.
Karena pengalaman itulah barangkali, pemerintah tak lagi mau kecolongan dengan adanya CMA CGM yang trashipment di Jakarta kali ini. Makanya, pemerintah berupaya mencari formulasi agar mewujudkan trashipment Jakarta ini berkelanjutan. Salah satu cara yang akan ditempuhnya antara lain dengan rencana memangkas biaya-biaya di pelabuhan.
Tetapi, apakah langkah yang sedang dilakukan pemerintah ini tepat. Sebab, bukankah dengan mengambil keputusan itu nantinya, akan berpengaruh terhadap kinerja terminal. Karena tidak mungkin, kebijakan diskon tariff hanya diberikan kepada salah satu pelayaran saja. Pasti, pelayaran-pelayaran luar negeri yang berkegiatan di pelabuhan Jakarta juga akan meminta hak yang sama.
Recana itulah yang disayangkan Anton Sihombing, Ketua Umum GINSI. “Mestinya Negara tidak boleh diatur-atur oleh pebisnis (CMA CGM-red). Sebaliknya negaralah yang seharusnya mengatur. Saya bangga dan senang karena kapal besar bisa masuk ke Tanjung Priok. Namun, ini jangan dijadikan sebagai upaya ‘pencintraan’ pemerintah, karena yang saya dengar banyak permintaan sebagai syarat yang diajukan pihak CMA CGM,” katanya kepada Ocean Week, di Tanjung Priok.
Menurut anggota Komisi V DPR RI ini, dalam hal transshipment port, pemerintah jangan selalu membandingkan dengan pelabuhan Singapura. “Di Singapura sebenanrya tariff juga tidak murah, tapi mereka menang dalam layanan cepat, sehingga waiting time kapal dan barang hampir zero,” ungkapnya.
Sebagai comparative, tariff transshipment di Singapura (Jurang port, Pasir Panjang Terminal, Keppel Terminal, Tanjong Pagar, Branni Terminal, New Container Terminal Pasir Panjang) dan pelabuhan di Indonesia.
Di pelabuhan Singapura tariff local dikenai biaya 150 dolar Singapura (20 feet), dan 215 dolar Singapura (40 feet), sedangkan biaya transshipment 115 solar Singapura (20 feet) dan $ 175 Singapura (40 feet) dengan catatan 9 hari free storage. Pemindahan container dari terminal ke terminal lain diurus oleh terminal termasuk dalam biaya transshipment (T/S).
Sementara itu di Tanjung Priok, tariff bongkar muat local dikenai tariff US$ 93,00 (20 feet), tariff transshipment US$ 56.00 atau US$ 28,00, namun dengan catatan apabila transshipment (ekspor/impor) dibongkar dan dimuat pada dermaga yang berbeda, dan juga berlaku jika muatan T/S dibongkar dan dimuat pada dermaga yagn sama.
Kemudian untuk storage impor T/S 0-1 hari, di Priok dikenai 100%, dan dari 2- seterusnya dikenakan 900%, namun ini akan dikenai biaya kalau muatan T/S itu dibongkar muat pada dermaga yang berbeda. Sedangkan untuk storage ekspor T/S 1-5 hari dikenakan satu hari, 6-10 dikenai 200% dan 11-seterusnya kena 300%.
Di Tanjung Priok, pengangkut pun masih harus menanggung biaya pemindahan container transshipment dari terminal satu ke terminal lain sekitar Rp 700 ribu, ditambah pula dengan tanggungan biaya penumpukan rata-rata masa kedua.
Untuk tariff pemanduan, di Singapura dikenai $ 310 Singapura bagi kapal diatas 45.000 – 50.000 GT ditambah tariff variable 155 dolar Singapura setiap ½ jam, sedangkan kapal diatas 60.000 GT kena $ SIN 370 ditambah tariff variable $ SIN 185 per ½ jam. Sebaliknya di Priok untuk pemanduan kapal asing dikenai US$ 75 pergerakan ditambah tariff variable US$ 0,022 per GT.
Sementara itu Tarif tunda di Singapura, kapal diatas 60.000 – 100 ribu GT dikenai $SIN 1100 ditambah tariff variable 550 dolar SIN per ½ jam, sedangkan di Indonesia, biaya tunda kapal diatas diatas 75 ribu GT terkena biaya US$ 1912,50 ditambah tariff variable 0,05005 per GT kali jam pemakaian.
“Masalahnya, waiting time di pelabuhan Indonesia (Priok) cukup lama, sehingga ini bedanya dengan Singapura,” ucap Anton Sihombing.
Kalau ini yang kemudian dijadikan pemerintah memangkas tariff pelabuhan, sudah pasti pula pendapatan terminal petikemas akan berkurang, dan dampaknya kemungkinan terminal akan sulit melakukan investasi peralatan. Alhasil, jika terminal tak lagi mampu investasi alat, kinerja layanannya pun dapat ‘lelet’ tak sesuai harapan pengguna jasa. Jika sudah demikian, apakah terminal di Indonesia dapat bersaing dengan terminal luar negeri.
Sekali lagi Anton Sihombing mempertanyakan, apa sebenarnya yang mendasari pemerintah yang kemudian ingin menurunkan biaya-biaya di pelabuhan. Apakah ini karena permintaan dari pihak pelayaran besar itu, atau ada agenda lain dari pemerintah. “Jangan jadikan ini sebagai pencintraan,” ungkap Anton.
Keinginan menurunkan biaya di pelabuhan sudah diungkapkan oleh Menko Maritim maupun Menhub.
Menhub kepada wartawan menyatakan, Pemerintah berencana memangkas biaya-biaya pelabuhan agar efisien. Pemerintah mengaku, biaya di pelabuhan dalam negeri lebih tinggi dari pelabuhan di negara tetangga (Singapura).
“Bahwasanya biaya pelabuhan kita itu dianggap tinggi dibanding pelabuhan di dekat Indonesia ini. Oleh karenanya, kita akan mengevaluasi biaya pelabuhan yang terdiri dari beberapa tempat,” kata Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi.
Budi Karya juga mengatakan, salah satu yang dilihat pemerintah adalah kondisi pembiayaan di pelabuhan komersial, seperti Pelabuhan Tanjung Priok. Contohnya seperti masalah pengenaan biaya operasional kapal pandu dan kapal tunda yang dinilai mahal.
“Kami akan mengevaluasi, apakah benar biaya pandu dan tunda di Priok atau di pelabuhan-pelabuhan kita mahal. Saya sedang evaluasi,” katanya. Lebih lanjut Budi juga mengaku, pemerintah berencana menurunkan tarif kapal-kapal besar yang akan masuk ke pelabuhan. Supaya dapat menarik minat kapal-kapal besar untuk bersandar di pelabuhan Indonesia.
“Yang pasti akan kita turunkan adalah tarif dari kapal-kapal yang besar, itu akan kita turunkan, tidak berbanding lurus dengan jumlah kontainer. Tetapi ruang dan waktu yang digunakan oleh kapal-kapal tersebut, sehingga tingkat efisiensi itu bisa didapat,” kata Budi Karya.
Sedangkan Menko Maritim Luhut Panjaitan mengungkapkan akan memangkas biaya THC.
Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha Pelindo II Saptono Rahayu Irianto, mengungkapkan untuk bisa menjaga kelanggengan kapal ‘raksasa’ ke Priok, akan diberikan insentif, serta mengupayakan ketersediaan barang/container.
Terlepas dari semua pendapat tersebut, yang pasti CMA CGM melalui kapal besar miliknya sudah tiga kali masuk ke JICT, dan akan terus dilanjutkan dengan jadwal mingguan rute Priok-Amerika. (0ceanweek)