Program tol laut pemerintahan Jokowi-JK yang dinilai sebagai upaya NKRI diharapkan jangan dijadikan sebagai ‘tumpangan’ untuk kepentingan dan keuntungan pedagang. Sebab, konsep tol laut yang dinilai cukup bagus ini dan telah miliaran rupiah terkucurkan demi keberlangsungan keinginan untuk menekan cost logistik menjadi sia-sia. Karena kenyataannya, harga barang tetap masih mahal, meski subsidi untuk itu sudah diberikan oleh pemerintah.
Apa yang menjadi harapan Presiden RI Joko Widodo dengan tol laut untuk tidak ada lagi disparitas harga barang antara wilayah Indonesia barat, tengah, dan timur ini tak tercapai.
Ketua ALFI Manokwari, Obed Manufandu mengemukakan bahwa program tol laut gagasan pemerintah ini sangat bagus, tapi masih belum menyentuh sampai ke wilayah pelosok Manokwari. “Kapal ke wilayah ini (Manokwari-red) sebulan hanya sekali. Harga barang pun tetap mahal,” katanya kepada Ocean Week, di Semarang.
Makanya, ungkap dia, jangan sampai subsidi yang diberikan pemerintah untuk menekan cost logistik ini tidak sampai sasaran. Obed mengungkapkan sangat mengapresiasi dengan program tol laut ini. Tetapi, untuk mencapai apa yang diinginkan pemerintah Jokowi-JK, menurut dia akan diperlukan waktu yang panjang dan dana yang sangat besar.
Oleh sebab itu, disarankan supaya pemerintah mendorong pembangunan industri di wilayah-wilayah Indonesia Timur, sehingga terjadi pemerataan dan keseimbangan distribusi nantinya. “Selama ini keluhan yang selalu terdengar bahwa jika kapal berlayar ke wilayah Indonesia Timur baliknya kosong muatan, sehingga berakibat pada cost yang tinggi. Selain itu juga biaya bongkar muat barang yang ‘selangit’. Hal ini juga penting menjadi perhatian pemerintah. Jangan fokus pada angkutannya saja, namun tingginya ongkos di daratnya terlupakan,” jelas Obed.
Padahal, pembangunan tol laut bertujuan menurunkan biaya logistik dan meningkatkan pemerataan ekonomi melalui sistem transportasi laut yang teratur, terjadwal, dan terintegrasi di seluruh wilayah Indonesia.
Faktor lain pendorong diadakannya program tol laut ini adalah penyebaran distribusi kebutuhan pokok kepada masyarakat yang tidak merata, juga pertumbuhan ekonomi yang terpusat di Pulau Jawa. Transportasi laut di Indonesia pun tidak efisien dan mahal karena tidak adanya muatan balik dari wilayah-wilayah yang pertumbuhan ekonominya rendah, khususnya di kawasan timur Indonesia.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut A. Tonny Budiono mengatakan, konsep tol laut diharapkan mampu menciptakan konektivitas laut yang efektif, berupa adanya kapal yang rutin berlayar dan terjadwal dari barat sampai timur Indonesia.
“Konsep tersebut direalisasikan dengan menghubungkan jalur pelayaran barat ke timur Indonesia melalui 24 pelabuhan strategis yang berfungsi sebagai hub dan feeder tol laut,” kata Tonny.
Program tol laut akan menjamin ketersediaan barang, juga kelangsungan pelayanan penyelenggaraan angkutan barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan.
“Serta yang terutama mengurangi disparitas harga di tengah masyarakat, sehingga tol laut menjadi tonggak baru menekan disparitas harga yang terjadi selama ini,” ujarnya.
Terkait dengan disparitas harga, Tonny menuturkan, selama program tol laut bergulir, kesenjangan harga yang terjadi di beberapa daerah berhasil ditekan. Di Tahuna, Sulawesi Utara, misalnya, harga beras mengalami penurunan hingga 5 persen, terigu (6 persen), dan semen (5 persen). Penurunan harga juga terjadi di Namlea, Buru, Maluku. Di sana, harga minyak turun 15 persen, tripleks (17 persen), bawang merah (20 persen), beras (22 persen), semen (22 persen), gula (28 persen), daging ayam ras (28 persen), terigu (29 persen), bahkan harga telur ayam ras mengalami penurunan paling drastis, yaitu 49 persen.
Hal yang sama juga terjadi di Wanci, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Harga terigu dan semen turun 3 persen, gula (5 persen), minyak (9 persen). Begitu pula dengan harga beras, tripleks, dan baja ri-ngan, yang juga mengalami penurunan hingga 11 persen. Di Sabu, Nusa Tenggara Timur, harga barang kebutuhan pokok turun secara signifikan. Seperti harga terigu yang turun 7,7 persen, minyak goreng 1 liter (10 persen), tripleks (10,5 persen), beras (12 persen), dan semen 13,8 persen.
Tonny menuturkan, guna lebih mengefektifkan program tol laut, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan bekerjasama dengan Kementerian BUMN telah menggagas pembangunan pusat logistik di wilayah jalur tol laut yang dinamakan “Rumah Kita”.
Pada tahun 2017, rencananya akan dibangun pusat logistik “Rumah Kita” di 19 lokasi yaitu Nias, Mentawai. Natuna, Tahuna, Dompu, Waingapu, Rote, Kalabahi, Nabire, Tobelo, Sebatik, Tidore, Sangatta/ Lhoktuan, Morotai, Saumlaki, Manokwari, Timika, Merauke dan Namlea.
Diharapkan dengan adanya program ‘Rumah Kita’ masyarakat dapat langsung menikmati manfaat dari program tol laut sehingga harga kebutuhan bahan pokok yang ada di pulau tertinggal, terluar, terdepan dan terpencil tidak jauh berbeda dengan yang ada di pusat kota. “Kami telah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah serta stakeholder terkait dengan kebutuhan barang dan pendistribusian barang di wilayah sekitar lokasi Rumah Kita,” ujarnya.
Dirjen Hubla juga mengatakan, pihaknya tengah mengembangkan program keterpaduan antara program tol laut dan jembatan udara sebagai upaya menekan disparitas harga di wilayah pegunungan tengah Papua.
“Teknisnya, setelah petikemas tiba di Pelabuhan Tomako, Timika, dilakukan proses stripping agar dapat diangkut dengan jalur darat sepanjang 42,35 kilometer menuju Bandara Mozes Kilangin. Dari sana, petikemas diangkut dengan moda pesawat menuju lokasi sesuai dengan jalur tol udara,” ungkap Tonny. (***)