Upah buruh di beberapa pelabuhan (TKBM) sekarang ini dinilai cukup memberatkan pelaku usaha bongkar muat (PBM), karena besaran persentasenya mencapai lebih dari 50% atas tarif bongkar muat yang berlaku, sehingga mengakibatkan kesulitan bagi PBM dalam memenuhi besaran jasa pemanfaatan fasilitas dermaga dengan badan usaha pelabuhan.
Hal itu menjadi curhatan para pengurus Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) dari berbagai daerah, yang pada Selasa (5/12), mengikuti Rapat Pleno APBMI di Jakarta.
Mereka berharap supaya tarif TKBM disepakati kedua belah pihak sesuai dengan peraturan yang ada dan berlaku.
“Karena pengelola TKBM mayoritas tunggal, sehingga ‘monopoli’, jadi kami nggak ada pilihan lagi,” keluh para pengurus APBMI dari berbagai daerah kepada Ocean Week yang dihubungi terpisah, kecuali APBMI DKI Jakarta yang sudah sangat kondusif karena mengikuti aturan KM 35 tahun 2007.
Karena itu, para pengurus APBMI di banyak daerah itu minta agar pengelolaan TKBM tak lagi tunggal, melainkan bisa ada koperasi lain atau Yayasan dan PT untuk dapat mengelola buruh di pelabuhan tersebut.
“Karena tak ada kompetitor, makanya mereka semaunya sendiri,” timpal pengurus APBMI lainnya.
Sementara itu, Sekretaris APBMI Patimban, H. Soleh juga mengeluhkan hal yang sama. Dia minta supaya DPP APBMI mengeluarkan surat ditujukan kepada KSOP untuk mencari solusi masalah TKBM ini.
“Kami berharap supaya pusat (DPP APBMI) membuat surat ke KSOP untuk masalah TKBM ini. Dan harapan kami juga bisa ada pengelola TKBM lainnya, sehingga tak monopoli,” ungkapnya.
Sekretaris APBMI Patimban juga prihatin terhadap keinginan TKBM merebut pekerjaan yang dilaksanakan oleh PBM. “Kalau mereka (TKBM) juga ingin supaya pekerjaan untuk driver (sopir) yang membawa kendaraan ke kapal dari lapangan penumpukan diambil juga, maka apa yang akan kami kerjakan,” ujar Soleh prihatin.
Namun begitu, ada pula dibeberapa pelabuhan yang sudah muncul pengelola TKBM selain koperasi yang selama ini sudah ada. Misalnya, di Surabaya, di beberapa terminal buruh nya dari Koperasi, tapi untuk terminal Teluk Lamong menggunakan TKBM yang dikelola oleh koperasi lain.
Namun, di Teluk Bayur ada koperasi lain yang mencoba masuk ke pelabuhan, tetapi hingga saat ini belum bisa bekerja. Sebab, setiap mereka mengajukan untuk bisa bekerja selalu ditentang oleh koperasi TKBM yang selama ini sudah ada. Bahkan KSOP pun sebagai pembina TKBM, tidak bisa memberikan solusi.
Semua keluhan yang disampaikan pengurus APBMI dari berbagai daerah itu, dibenarkan oleh Surat Indrijarso dari KemenkoMarvest. “Sekarang ini boleh saja mendirikan koperasi untuk mengelola TKBM, saya setuju, bahkan nanti bisa saja PT atau Yayasan untuk itu,” kata Surat kepada Ocean Week, usai acara rapat pleno APBMI di Jakarta, Selasa (5/12).
Dia juga mengakui jika masalah TKBM ini menjadi salah satu problem yang mesti segera diselesaikan, sehingga tidak menyumbang biaya tinggi logistik di pelabuhan.
Seperti diketahui, saat membuka Rakernas APBMI beberapa waktu lalu (Jumat, 3/11), di Holiday Inn Hotel Jakarta, Menhub Budi Karya Sumadi dalam sambutannya mengajak kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan kepelabuhanan supaya dapat menekan cost logistik.
“Saya mengajak kepada semua pelaku kepelabuhanan supaya bisa menurunkan biaya logistik. Dan PBM sebagai mata rantai dari kegiatan kepelabuhanan juga supaya dapat menurunkan harga barang,” ujarnya.
“Tapi kalau pengelolaan TKBM monopoli oleh satu koperasi, yah nggak bisa menekan cost logistik. Karena itu tadi, ongkos buruh mahal, dan kami nggak ada pilihan lain,” ucap para pengurus APBMI dari berbagai daerah itu kompak.
Makanya melalui Surat Indrijarso inilah barangkali curhatan APBMI ini dapat dijembatani ke Menkomarvest, sehingga carut marut TKBM di pelabuhan bisa dibenahi. Sehingga kedepan tak ada lagi monopoli pengelolaan TKBM di pelabuhan. (***)