Sebanyak 20 dari 50 perusahaan galangan kapal di Batam tutup karena sepi tak ada order. Sedangkan diantara 30 perusahaan masih bertahan untuk menyelesaikan pesanan kapal pada tahun 2016 lalu, dan hanya melakukan repair saja.
Sekretaris Batam Shipyard Offshore Association (BSOA), Suri Teo menyatakan, kondisi memprihatinkan industri galangan kapal ini semakin diperburuk oleh tarif jasa kepelabuhanan yang melambung. “Tarif terbaru dari Badan Pengusahaan (BP) Batam dinilai sangat memberatkan. Untuk melakukan perbaikan kapal saja, para pemilik kapal akan menghitung kembali karena biayanya tinggi,” ujarnya.
Menurut dia, tarif yang dianggap tinggi adalah tarif labuh tambat. “Kalau bisa tarif labuh tambat diturunkan agar galangan kapal disini bisa bersaing dengan negara tetangga,” ucap Suri.
Malaysia, sambungnya, berwacana menerapkan tarif labuh tambat nol persen untuk kapal yang akan melakukan perbaikan. “Seharusnya kita bisa lebih dulu menolkan tarif tersebut. Dengan begitu, kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan dunia maritim akan bergerak,” ungkapnya.
Akibat banyak perusahaan yang ‘gulung tikar’ banyak tenaga kerja yang terpaksa di ‘PHK’. Saat ini, BSOA mencatat, jumlah karyawan yang tersisa tinggal sekitar 2.500 orang.
Mahalnya tarif kepelabuhanan di Batam juga pernah dikeluhkan INSA Batam. “Tarif labuh tambat sangat memberatkan pelayaran, padahal kita sedang berupaya menurunkan cost logistik. Jika demikian, bagaimana program pemerintah menurunkan cost logistik bisa tercapai,” ujar Suparno, pengurus DPC INSA Batam.
Sementara itu, anggota Tim Teknis Dewan Kawasan (DK) Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Batam, Taba Iskandar, mengatakan permasalahan tarif jasa pelabuhan harus didudukkan antara lembaga BP Batam dan para pengusaha pelayaran. “Jangan karena dulu ada kebocoran jadi ditimpakan dengan tarif mahal untuk menutupi itu,” tuturnya. (***)