Pelabuhan Marunda di Jakarta Utara selalu menjadi daya tarik dunia usaha untuk membicarakannya. Bukan lantaran karena letaknya berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Priok, namun disebabkan pertumbuhan volume barang yang dlayani lewat pelabuhan Marunda sangat meroket.
Bayangkan saja, kalau dua tahun lalu kegiatan yang ditangani hanya tercatat sekitar 33 juta ton, tapi di tahun 2018 lalu berhasil mengukirkan dalam buku sebesar 54 jutaan ton. Sayangnya, pelabuhan ini masih kelas IV, dan sistem layanan pun masih dominan manual. Karena itu, banyak pengusaha kepelabuhanan yang tertarik ingin memasukkan kegiatannya di Marunda, khususnya kegiatan curah.
Tak hanya itu saja, kalangan usaha kepelabuhanan juga sering mempertanyakan, bagaimana dengan pola pentarifannya. Apakah sudah melaksanakan ketentuan Menteri Perhubungan sesuai PM 121 tahun 2018 sebagai perubahan dari PM 72/2017.
Sekretaris Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim mengungkapkan bahwa pihaknya tak pernah diajak dalam pembahasan tarif di pelabuhan Marunda. Padahal, ungkap Adil, sesuai dengan peraturan Menhub, untuk tarif jasa pelabuhan harus dibahas lebih dulu dengan para asosiasi, dan setelah sepakat, barulah mengusulkan ke pemerintah (Kemenhub) untuk persetujuan.
“Kami nggak pernah diajak bicara. Makanya bisa kami sebut, tarif di pelabuhan Marunda itu liar,” kata Adil Karim kepda Ocean Week, di kantor ALFI Jakarta baru-baru ini.
Dia juga mempertanyakan bagaimana dengan tarif bongkar muatnya, apakah APBMI sebagai asosiasi perusahaan bongkar muat sudah pula diajak berembuk membahas soal tarif bongkar muat. “Setahu saya belum ada juga. Kalau di pelabuhan lain seperti Priok, asosiasi pasti dilibatkan dalam pembahasan tarif,” ungkapnya.
Adil mengaku akan berkirim surat kepada KSOP Marunda Iwan Soemantri, menanyakan payung hukum tarif jasa kepelabuhanan yang berlaku di pelabuhan Marunda. “Kami akan audiensi ke KSOP Maruda, menanyakan soal payung hukum tarif disini. Karena sampai saat ini belum ada kesepakatan tarif yang dibicarakan lebih dulu ke semua asosiasi terkait,” katanya.
Ocean Week yang mengkonfirmasikan hal itu ke APBMI Jakarta, diperoleh keterangan bahwa asosiasi ini menyatakan belum pernah diajak bicara. “APBMI belum pernah diajak rembugan soal tarif di Marunda,” kata Aris Hartoyo, di kantor APBMI Jakarta.
Saat ini soal tarif pandu-tunda di pelabuhan Marunda pun terus dibahas. PT Krakatau Bandar Samudera (KBS) sebagai operator pemanduan penundaan yang memperoleh pelimpahan dari Kemenhub, masih membahas penyesuaian tarif (biaya) tersebut dengan INSA Jaya.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto, menyambut baik keluarnya PM 121/2018 sebagai koreksi PM 72 tentang pentarifan jasa kepelabuhanan.
Menurut Carmelita, PM 121 menjadi koreksi bagi PM 72 yang selama ini dinilainya membebani pelayaran. “PM 121/2018 sudah pas dan wajar. Biaya penggunaan kapal tunda menjadi sama dengan yang semula sebelum PM 72 dikeluarkan,” katanya.
Dalam PM 121 yang sudah berlaku sejak 28 Desember 2018 lalu, salah satunya menetapkan satuan ukuran pelayanan jasa penundaan dihitung berdasarkan ukuran kapal yang ditunda dalam gros ton (GT) dengan satuan GT per jam atau ((GT x tarif variabel) + tarif tetap) x jam.
Beleid PM 121 juga menetapkan batasan keadaan tertentu yang dapat menjadi alasan badan usaha pelabuhan (BUP) meninjau tarif jasa kepelabuhanan sebelum dua tahun sejak berlaku. “Positifnya pada PM 121/2018 tersebut, INSA diikutkan dalam menentukan tarif jasa kepelabuhanan,” ujar Carmelita. (***)