Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia (ALFI) meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan yang membolehkan asing mengempit modal hingga 67% di bidang jasa pengurusan transportasi (JPT). Alasan mereka, pemerintah juga harus mempertimbangkan kemampuan pengusaha lokal.
Hampir mayoritas pelaku usaha local sector ini mengaku khawatir dengan kebijakan tersebut. Namun Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanawi justru menyatakan tak takut dengan pemain asing sector ini, melainkan yang dia takuti adalah perusahaan BUMN di sector logistic ini. “Saya justru tak takut pada asing, tetapi yang saya khawatirkan adalah perusahaan logistic BUMN,” ungkapnya dihadapan para peserta Rakernas ALFI, baru-baru ini di Jakarta.
Ketua DPW ALFI Jawa Tengah Ariwibowo dan Koordinator Wilayah Sumatera Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia (AlFI) Khairul Mahalli mengaku sangat khawatir dengan kebijakan tersebut.
“Diperbolehkannya asing memiliki saham hingga 67% akan mematikan pengusaha dalam negeri, mereka modalnya sangat kuat sementara local pasti tak akan mampu menandinginya,” ungkap keduanya.
Apalagi saat ini kegiatan sector logistic di Jawa Tengah maupun wilayah Sumatera, termasuk Jakarta mengalami penurunan rata-rata 20 – 30%. Di jawa Tengah misalnya, penurunan ini disebabkan menurunnya daya beli. Contohnya, kata Ariwibowo, ekspor ke Korea turun drastic.
“Antisipasi yang kami lakukan yakni efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Dan ini bukan hanya di bidang usaha logistic tapi juga di sector produksi, sehingga kita dapat bersaing dari sisi harga,” ujar Ariwibowo.
Ketua ALFI Jakarta juga mengeluhkan hal sama. Bahkan menurut Widyanto, dengan kebijakan tersebut, kedepan perusahaan local banyak yang gulung tikar. Mengingat local tak mungkin mampu bersaing dengan asing.
Khairul menyebutkan, dengan suku bunga kredit jauh lebih rendah atau hanya sekitar 3%, asing leluasa mengalahkan usaha nasional yang modal kerjanya berbunga hingga 13%.
ALFI berharap, pemerintah mengkaji ulang kebijakan itu karena pemberian kebebasan asing dalam penanaman modal hingga 67% dipastikan sangat mengganggu pengusaha nasional.
ALFI juga meragukan pengawasan pemerintah atas modal asing yang sebesar 67% tersebut. “Dikhawatirkan, pada akhirnya modal asing bisa lebih bahkan mungkin bisa 100%, meski dalam izin resmi hanya maksimal 67%.
Kekhawatiran itu mengacu pada fakta di lapangan dewasa ini bahwa banyak perusahaan asing berkedok perusahaan nasional yang sudah beroperasi di bisnis jasa pelayanan transportasi. Perusahaan itu hingga dewasa ini sulit dan bahkan tidak terjangkau pemerintah untuk ditindak.
“ALFI berharap DPR RI, DPD RI, termasuk para gubernur berpihak ke pengusaha nasional dengan mendesak pihak eksekutif meninjau kembali besarnya modal asing di jasa pengurusan transportasi itu,” kata Dirut PT Sahara Trainindo tersebut.
Ia menyebutkan, perlindungan kepada pengusaha nasional jasa pengurusan transportasi itu bukan hanya untuk kepentingan pengusaha, melainkan untuk kepentingan pekerja lokal yang cukup banyak.
Kalau pengusaha asing yang lebih banyak beroperasi, ancaman tergantinya pekerja lokal ke asing juga sangat besar karena pekerja asing juga semakin bebas masuk ke Indonesia.
Investasi asing memang sedang marak diberbagai negara termasuk Indonesia, tidak bisa dipungkiri lagi era investasi asing kini telah merambah hingga keberbagai sector, yang harus dilakukan itu ialah bagaimana cara Indonesia untuk menghadapi ketatnya persaingan dengan investor asing yang semakin meningkat sejak 5 tahun teakhir. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan indonesia sebagai strategi mengahapi investasi asing ini.
Turunkan bunga kredit
Pengamat ekonomi Sumut Wahyu Ario Pratomo mengatakan, pemerintah harus berhati-hati membuat kebijakan soal keterbukaan investasi asing.
“Jangan karena sibuk mau ngejar investor asing, pemerintah lupa melindungi pengusaha lokal,” katanya.
Menurut dia, salah satu upaya untuk melindungi pengusaha nasional adalah menurunkan suku bunga kredit perbankan yang terlalu tinggi dari yang berlaku di negara asing. (rs/ow)