Para operator terminal container di pelabuhan Tanjung Priok mesti mampu mengoptimalkan fasilitas yang ada untuk menarik shipping line masuk menggunakan terminalnya.
Apalagi sekarang ada kecenderungan Pelindo akan mengundang kapal-kapal besar berkapasitas 3000-5000 TEUs untuk masuk ke Tanjung Priok. Ini akan menjadi kompetisi tersendiri bagi para pengelola terminal container di pelabuhan tersibuk di Indonesia ini.
“Sudah pasti dengan keinginan Pelindo II mengundang kapal-kapal besar, otomatis jika itu terealisasi, akan ada pengurangan kapal-kapal kecil yang selama ini berkegiatan disini (Pelabuhan Priok-red). Misalnya, Maersk, karena yang datang ke Priok kapal besar, kapal kecilnya akan dialihkan ke tempat lain, begitu pula dengan shipping line yang lain. Artinya jumlah kapal ke Priok berkurang, namun kapasitas space muatannya bertambah,” kata Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto kepada Ocean Week per telepon, Selasa Malam (27/12).
Namun, ucapnya, sekarang ini kegiatan impor barang sedang turun, sehingga Carmelita yakin para shipping line luar negeri akan berpikir untuk mendatangkan kapal besarnya ke Indonesia. “Karena mereka juga akan menyesuaikan dengan volume muatan yang tersedia. Kalau barang tersedia cukup diangkut dengan kapal kapasitas 2000 TEUs, ya kapal seukuran itu yang digunakan,” ucapnya.
Sebagai pebisnis pelayaran, Carmelita mengetahui persis apa yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha shipping tersebut.
Karena itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia yang membidangi Perhubungan ini berharap, para operator terminal di pelabuhan Tanjung Priok mampu mengoptimalkan kinerjanya, memberikan service terbaiknya, dan meningkatkan produktivitas bongkar muatnya. “Karena shipping line sekarang banyak pilihan, apakah masuk ke JICT, TPK Koja, MAL atau NPCT1,” ungkapnya.
Menanggapi istilah superhub yang digagas Pelindo, Carmelita tidak mau memasuki ranah mereka. “Itu domain Pelindo,” ujarnya singkat.
Sementara itu, sejumlah pebisnis pelayaran maupun logistic mengaku bingung dengan istilah Superhub tersebut. Ketua Umum ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi dan Ketua INSA Surabaya Stenvens H. Lesawangen misalnya, keduanya mengaku bahwa istilah itu akan menjadi bahan cibiran dunia internasional.
“Apa kata dunia yah, dengan istilah superhub itu nanti. Sebab saya tetap yakin nggak perlu declair hub atau super kalau barangnya ada pasti kapal datang. Jadi ship follow the trade,” ungkap Yukki.
Sedangkan pengamat maritime dari ITS Surabaya Saud Gurning menyatakan jika dari sisi istilah memang tidak dikenal yang namanya Superhub. “Tapi tak tahu lagi kalau karena komitmen besar kita diciptakan istilah itu dan hanya kita sendiri yang tahu, meski orang lain tak tahu,” ujarnya.
Stenvens mencontohkan, PSA Singapore yang sangat besar volumenya tidak menggunakan istilah itu. “Ini sangat aneh, Indonesia yang sudah pasti jauh dari yang namanya hub port kok sudah pakai istilah super, bagaimana itu,” ucapnya sembari bertanya.
Menurut Stenvens, untuk hub bukan hanya karena letak geografisnya, tapi sangat tergantung pada MLO (Main Line operator). “Harusnya pemerintah Indonesia mendekati MLO seperti yang dilakukan Malaysia untuk tanjung Pelepas, ini jangan hanya mikirin bagaimana naikkin tariff. Disini kita melihat bagaimana pentingnya MLO itu,” ungkapnya. (***)