Indonesia dengan lautan yang sangat luas, share maritimnya hanya 4 persen. Bahkan Bank Indonesia mencatat mayoritas defisit neraca jasa Indonesia bersumber dari sektor maritim, sekaligus menunjukkan kontradiksi dengan potensi geografis di Tanah Air yang didominasi perairan.
“Defisit jasa kita 80 persennya dari sektor maritim, entah untuk sewa kapal, leasing (pembiayaan), ataupun asuransi perkapalan,” kata Direktur Eksekutif Kebijakan Moneter dan Ekonomi Juda Agung di Batam, Kamis malam (11/8).
Atas dasar itulah, Bank Indonesia dalam Rapat Koordinasi Keuangan dan Ekonomi Daerah di Batam, Jumat (12/4) ini mengangkat tema Percepatan Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Mendorong Pariwisata.
Dijadwalkan hadir dalam rapat tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi Asman Abnur.
Juda menyatakan, Defisit neraca jasa Indonesia pada 2015 sebesar 8,3 miliar dolar AS. Sektor maritim menyumbang defisit 6,64 miliar dolar AS.
Dia, menilai masih bergantungnya sektor maritim pada ketersediaan di luar negeri karena pelaku usaha lebih banyak bertindak sebagai pelaku usaha pasif yang dikendalikan permintaan dari luar negeri.
Dengan begitu, eskportir di sektor maritim, misalnya di subsektor perkapalan, akhirnya mengikuti ketentuan yang diatur importir.
Ketentuan tersebut banyak yang mengatur tentang industri pendukung maritim, seperti pembiayaan atau proteksi asuransi, bersumber dari luar negeri.
Hal itu menyebabkan kegiatan jasa banyak membutuhkan suplai valuta asing, yang akhirnya membuat defisit neraca jasa melebar.
“Akhirnya luar negeri yang tentukan mau pakai kapal mana yang menurut mereka efisien karena kapalnya dari mereka, asuransi juga mereka yang cari yang sesuai kebutuhan mereka. Itu yang bikin kita banyak jasa bidang pelayanan pakai asing,” kata Juda.
Untuk menghapus inefisiensi ekonomi tersebut, salah satu jalannya adalah industrialisasi di sektor maritim. Juda menilai pengembangan industri maritim sudah berjalan, misalnya dengan pembangunan industri galangan kapal.
Namun hal tersebut perlu diperluas dan didukung dengan berbagai kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah, serta dunia usaha.
Selain itu, lambatnya perkembangan sektor maritim pun tecermin dari kontribusinya terhadap perekonomian nasional yang hanya 4 persen.
Padahal, Filipina, dengan luas perairan yang lebih kecil dari Indonesia, memiliki ekonomi maritim yang menyumbang 20 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. (ow)