Usaha pelayaran nasional mulai resah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 13 tahun 2022 tentang Keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Sebab, dengan PP 13/2022 tersebut, peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) semakin eksis, karena bisa melakukan penindakan, namun tidak dapat memproses hukum lebih lanjut.
“Ini sangat meresahkan dan memprihatinkan. Masih ingat kasus kapal tanker MT Horse asal Iran dan MT Freya asal Panama yang ditangkap Bakamla pada awal tahun 2021 lalu, Bakamla hanya menangkap saja karena tak bisa melakukan proses lanjut. Kalau hanya nangkapin kapal saja kan bisa merugikan perusahaan pelayaran, sebab belum tentu kapal salah. Ini mesti diprotes, dan kenapa Kemenhub (jajaran KPLP Perhubungan Laut) diam saja tak protes,” kata Lukman Ladjoni, pengamat kemaritiman dari Surabaya, Jawa Timur kepada Ocean Week, Rabu malam (23/3/2022).
Menurut Lukman, jika kapal sudah mendapat ijin berlayar oleh pihak Syahbandar, seharusnya sudah clear, dan tidak lagi bisa ditangkap, apalagi yang menangkap Bakamla. “Khawatirnya institusi itu hanya bisa menangkap dan menangkap kapal saja, tak bisa mempros lebih lanjut karena tak ada haknya. Ini khawatirnya akan jadi ajang memeras usaha pelayaran,” kata Lukman.
Karena itu, kata pengusaha pelayaran di Surabaya ini, sebaiknya PP 13/2022 dievaluasi lagi, bahkan kalau perlu dicabut saja. Sebab, peraturan tersebut akan lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya.
Selama ini, ujar Lukman, kita tahu bahwa penegakan hukum di laut sudah ada KPLP (Kemenhub), TNI AL, Polairud, dan sebagainya. “Khusus KPLP, Undang-undang (UU) nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan jika penagak hukum yang berada di Ditjen Hubla Kemenhub tersebut merupakan institusi penegak hukum, keamanan di laut indonesia,” ujarnya.
Bahkan tadinya diharapkan KPLP adalah coast guard nya Indonesia. Sayang, hal itu belum kesampaian hingga saat ini. Kini, pemerintah justru memunculkan Bakamla. “Apa sebenarnya maunya pemerintah RI itu, bagaimana PP 13/2022 muncul, apakah tidak berbenturan dengan penegak hukum di laut yang sudah ada,” ungkapnya lagi.
Lukman Ladjoni mempertanyakan, kenapa mesti ada Bakamla, padahal pemerintah tau sudah banyak institusi penegak hukum di laut. “Kenapa harus dipaksakan, padahal akan banyak merugikan dunia pelayaran niaga nasional,” ucapnya.
Sebelumnya Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais)Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto ST, MH mengatakan pada tanggal 11 Maret 2022 telah terbit Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2022 tentang Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia (PP 13/2022 tentang KK&PHWPWYI), yang mengatur tentang Tugas Bakamla serta ancaman yang ada dilaut.
Menurut Soleman, terbitnya PP 13/2022 ini bukannya meyelesaikan masalah selama ini yang ada dilaut, tapi justru memunculkan masalah baru yang menghantui para pengusahan (khususnya kapal niaga) dilaut.
“PP 13/2022 ini telah membuat Bakamla sebagai ancaman bagi para pengusaha dilaut. Dikhawatirkan para Korban dari tindakan Bakamla yang tidak jelas itu tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini disebabkan karena Bakamla yang bukan Penyidik sudah pasti tidak memiliki kompetensi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Sehingga Penindakan oleh Bakamla ini merupakan Pelanggaran HAM sebagaimana yang diatur pada angka 6 Pasal 1 UU 39/1999 tentang Pelanggaran HAM,” jelasnya.
Soleman menegaskan bahwa PP 13/2022 tentang KK&PHWPWYI merupakan penegasan bahwa BAKAMLA bukan penyidik, juga menegaskan bahwa ancaman pelanggaran hukum dilaut semuanya sudah ada penyidiknya, sehingga sebetulnya BAKAMLA sudah tak diperlukan lagi.
“Keberadaan Bakamla hanya merupakan pemborosan keuangan negara. Dan Bakamla merupakan ancaman nyata para pengusaha kapal dilaut karena dapat melakukan penindakan sesuka hati, walaupun tidankan itu bertentangan dengan KUHAP. Bahkan PP 13/2022 sama sekali tidak mengatur Bakamla menjadi Indonesia Coast Guard, sehingga identitas Indonesia Coast Guard yang tertulis pada Kapal-kapal Bakamla adalah Identitas palsu,” ujarnya.
Soleman juga menilai PP 13/2022 akan menyebabkan harga barang menjadi semakin mahal, karena asuransi muatan kapal akan meningkat, akibat dari kemungkinan adanya tindakan sesuka hati yang dapat dilakukan oleh Bakamla. Akibatnya seluruh rakyat Indonesia menjadi semakin menderita karena harus membeli barang dengan harga yang lebih mahal. “Pelaksanaan PP 13/2022 dapat mengakibatkan pelanggaran HAM oleh Bakamla, dan PP itu membuktikan bahwa status Bakamla, tidak jelas militer bukan, penegak hukum pun bukan,” tegas Soleman Ponto. (***)