Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional (Insa) meminta Kementerian Perdagangan untuk menyeleksi barang yang diangkut oleh kapal-kapal tol laut, atau jika perlu merevisi Permendag no. 53 tahun 2020.
Sebab, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.53 Tahun 2020 menyebutkan jumlah item barang yang diangkut melalui kapal Tol Laut bukan hanya barang sembako.
“Yang diangkut kapal tol laut bukan hanya bahan pokok saja tetapi juga barang komersial, seperti keramik, sepeda bahkan mobil. Ini mesti ada pembatasan, karena kalau semua masuk ke kapal tol laut, kapal-kapal komersial yang kecil-kecil ini nggak ada kerjaannya,” kata ketua umum DPP INSA Carmelita Hartoto, kepada pers, di Jakarta.
Kasubdit 1 Ditjen Perhubungan Laut Capt. Bharta membenarkan jika telah dilakukan perubahan Permendag no. 38/2018 menjadi Permendag no. 53/2020.
Dalam Permendag 38, disebutkan ada 25 item barang yang bisa diangkut menggunakan kapal tol laut, berubah menjadi 32 item barang di Permendag no. 53/2020.
Memang dalam peraturan tersebut tak menyebutkan ada mobil atau kendaraan maupun semen, boleh diangkut menggunakan kapal tol laut.

Carmelita menyatakan supaya Kemendag perlu membatasi barang-barang apa saja yang seharusnya diangkut kapal tol laut dan barang yang masih bisa diangkut oleh kapal komersial agar keberadaannya tetap bisa eksis, terutama di tengah pandemi Covid-19 ini.
“Kemendag perlu membatasi barang-barang apa saja bisa diangkut tol laut dan barang apa yang tetep diangkut kapal-kapal komersial,” ungkapnya.
Meme (panggilannya) tak memungkiri bahwa barang-barang nonsembako juga dbutuhkan di wilayah Timur, namun keberlangsungan kapal-kapal kecil juga patut diperhatikan.
“Di daerah kan banyak kapal-kapal kecil yang juga harus dipikirkan. Kita menyampaikan ini artinya di Kementerian Perdagangan paling tidak mesti berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan, barang-barang apa saja yang seyogyanya bisa diangkut kapal tol laut,” kata Carmelita.
Terkait dipasritas harga, menurut dia, peran perusahaan BUMN juga penting, misalnya semen di mana keuntungan penjualan di wilayah Barat bisa disubsidi untuk harga di wilayah Timur.

“Semen kita kasih contoh harga mahal, bagaimana bisa jadi satu harga, subsidi juga semen Indonesia yang untungnya di wilayah Barat itu disubsidi sedikit semen-semen untuk di wilayah Timur. Kenapa Pertamina bisa memberikan satu harga, kenapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama. Tentu kita lebih bagus kalau pabrik-pabrik terbangun di daerah sana, tapi saat ini situasi seperti ini masih jauh, apalagi mendapat investor,” katanya.
Selain itu juga, Ia menambahkan, perlu dilakukan optimalisasi peran program Rumah Kita agar muatan balik kapal tol laut bisa memenuhi tingkat keterisian maksimal.
“Untuk, itu optimalisasi Rumah Kita untuk mengkonsolidasikan barang barang-barang pada sepanjang rute di Program Tol Laut harus terus dilakukan,” katanya.
Mengeluh
Sementara itu, kalangan pengusaha pelayaran di Jatim juga mengeluhkan kebijakan Menteri Pergadangan no. 53/2020 yang dinilainya bisa mematikan bisnis transportasi laut.
“Dalam Permendag itu semua jenis barang diatur, jumlah item diperbanyak sehingga pelayaran swasta atau kapal perintis semakin tidak bisa bergerak,” kata ketua DPC INSA Surabaya Stevens Lesawengan dalam konferensi pers, di Surabaya, akhir pekan.
Dia mengatakan diperkirakan aturan tersebut dibuat untuk meningkatkan loadfactor atau keterisian kapal tol laut yang selama ini belum maksimal. Namun begitu, pengusaha pelayaran swasta akhirnya harus bersaing dengan kapal tol laut yang mendapat subsidi pemerintah, bahkan untuk barang non-sembako.

Stevens menyatakan, program tol laut sejak awal hingga kini juga belum melibatkan pelayaran lokal, justru pemerintah menambah jumlah kapal tol laut dengan total 40 kapal.
“Padahal tujuan konsep Tol Laut awalnya adalah untuk mengurangi disparitas harga di daerah-daerah terpencil, dan tidak terjangkau, dan yang seharusnya tidak membutuhkan kapal besar, cukup dengan kapasitas 1.000 GT,” ujarnya.
Dia mencontohkan jumlah kapal perintis dengan rata-rata kapasitas 1.000 GT di Pelabuhan Kalimas Surabaya ada sebanyak 100 unit, dari jumlah itu hanya sekitar 50 persen yang beroperasi secara rutin. Secara total di Jatim jumlah kapal perintis mencapai ribuan.
Akibatnya, kapal-kapal perintis tersebut tidak dapat menghasilkan tetapi justru harus mengeluarkan biaya operasional seperti biaya sewa parkir, termasuk biaya sebanyak 22 sertifikasi kapal setiap 6 bulannya, bahkan sekitar 16 ABK per kapal tidak jalan.
“Sebenarnya pengusaha pelayaran juga tidak meminta subsidi, tetapi regulasi yang sebegitu banyak seharusnya bisa disederhanakan,” tegas Stenvens.
Sedangkan Suwito Hartanto, salah satu pemilik kapal di Pelabuhan Kalimas Baru, mengatakan seharusnya daya jangkau kapal-kapal perintis swasta cukup kuat bahkan sebelum ada program tol laut, kapal miliknya sudah mampu menjangkau pulau terpencil.
“Tujuan tol laut kan untuk mendukung kebutuhan barang masyarakat pedalaman yang sebenarnya tidak banyak jumlahnya. Selama ini kita sudah masuk ke sana, tapi yang kita sesalkan, kita tidak pernah dirangkul untuk bekerja sama dalam program tol laut,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Kadin Jatim, Deddy Suhajadi menambahkan Kadin Jatim rencananya akan membuat draf persoalan yang dihadapi pengusaha pelayaran untuk disuarakan kepada pemerintah pusat yakni Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan.
“Kita akan cari jalan keluar, dan yang perlu disikapi pemerintah adalah keputusan menteri yang semakin lama bertentangan dari makna tol laut. Masa depan pelayaran kalau tidak dijamin akan terbunuh nantinya,” katanya. (ant/bi/ow/**)