Jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan perlunya ada menteri investasi dan menteri ekspor, dengan alasan karena dua hal itulah yang menjadi kunci bagi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebaliknya, kalangan usaha pelayaran, kepelabuhanan, dan kemaritiman mengungkapkan bagaimana pentingnya pemerintah mendatang membentuk ‘Kementerian Maritim’, mengingat potensi maritim Indonesia yang sangat besar dan luas. “Ini tidak bisa ditangani hanya setingkat dirjen perhubungan laut yang menjadi bagian dari kementerian perhubungan. Direktorat Perhubungan Laut mesti ditingkatkan menjadi kementerian maritim,” kata Wakil Ketua Masyarakat Praktisi Peduli Maritim (MPPM) Capt. Zaenal Hasibuan dan Lukman Larjoni (pengamat maritim) kepada Ocean Week, Selasa sore.
Menurut keduanya, dulu kementerian maritim juga pernah ada, dan Ali Sadikin pernah menjabat sebagai menterinya. “Waktu itu tatanan dan regulasi untuk sektor maritim sangat bagus dan kami rasa, mendatang pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menteri maritim masuk dalam kabinet,” ungkapnya.

Tugas kementerian maritim bisa fokus pada apa yang dilakukan direktorat perhubungan laut sekarang ini, juga menangani potensi kelautannya, dan sebagainya.
Sewaktu di Tangerang, Banten hari Selasa (12/3), Presiden Jokowi mengatakan bahwa dirinya sudah sampaikan dalam rapat kabinet untuk perlunya kementerian investasi dan kementerian ekspor.
“Saya bertanya apakah perlu kalau situasinya seperti ini, yang namanya menteri investasi dan menteri ekspor,” kata Presiden Jokowi.
Jokowi menyampaikan itu saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Investasi Tahun 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai Tangerang, Banten.
Hadir dalam acara itu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas T Lembong, Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Jokowi menyebutkan dua menteri itu secara khusus akan menangani masalah sesuai bidangnya. “Wong penyakit kita ada di situ,” kata Jokowi.
Presiden menyebutkan di negara lain seperti di kawasan Eropa, juga ada dua menteri itu. “Di EU ada menteri investasi, ada menteri khusus ekspor, negara lain saya lihat juga sama. Mungkin dari sisi kelembagaan memang kita harus memiliki menteri investasi dan menteri ekspor. Dua menteri itu mungkin perlu,” katanya.

Presiden mengaku gregetan karena sudah tahu masalah atau kekurangan yang dihadapi tapi tidak juga bisa menuntaskan masalah yang ada. “Saya akan melihat alur ceritanya, akan saya lihat, ini ada yang gak bener di titik titik tertentu. Akan saya lihat, saya pasti akan menemukan, insya Allah saya akan menemukan titik masalahnya,” katanya.
Pada awal sambutannya Presiden mengatakan kunci kemajuan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini adalah investasi dan ekspor. Terkait investasi, Jokowi mengatakan perang dagang AS-Cina merupakan peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi.
“Investor yang investasi di Tiongkok itu mulai goyang, mulai mencari tempat baru investasinya,” katanya.
Dia mencontohkan industri mebel di negara itu yang mulai keluar dari Tiongkok. “Kita lihat industri menggunakan kayu, bambu, rotan di Guangzhou mulai keluar tapi kenapa datangnya ke Vietnam? Padahal kayu ada di kita, raw material ada di kita, kayu ada di kita, bambu ada di kita, apa yang salah dari Indonesia?” katanya.
Dia juga menyebutkan ekspor mebel Indonesia ke AS saat ini hanya tiga persen sementara Vietnam sudah menguasai 16 persen. “Ini koreksi buat kita semua. Ini baru satu produk atau barang yang kita ceritakan, produk lain ya kurang lebih ya sama,” katanya.
Dalam kesempatan itu Presiden juga meminta semua pihak mempercepat pelayanan perizinan untuk investasi yang mengarah pada sektor hilir atau pengolahan dan industri petrokimia.
“Kalau sudah investasi sektor hilir dan petrokimia sudah dengan tutup mata berikan saja,” katanya.
Khusus untuk investasi petrokimia, Jokowi menyebutkan impor produk petrokimia saat ini sangat besar sehingga kontribusinya kepada defisit neraca transaksi berjalan juga besar.
Namun menurut Lukman maupun Capt. Zaenal, menteri maritim juga sangat penting diadakan, jika pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maritim. (Ant/ow/**)