Sekitar 100 perusahaan bongkar muat (PBM) di pelabuhan Tanjung Perak, Jawa Timur (Jatim) berhenti beroperasi, terdampak dengan Permenhub no. 152 tahun 2016. Akibatnya ribuan orang yang selama ini menggantungkan nasibnya pada usaha ini kehilangan mata pencaharian.
Permenhub 152/2016 itu tentang penyelenggaraan dan pengusahaan bongkar muat barang dari dan ke kapal. Dalam salah satu pasal Permenhub menyebutkan bahwa Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang sudah memperoleh konsesi, otomatis dapat melaksanakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan tanpa memiliki ijin PBM.
Karena adanya pasal itulah, kemudian BUP PT Pelindo leluasa melakukan aktivitas bongkar muat. Ironinya, dalam peraturan pemerintah yang lain, menyebutkan untuk dapat melakukan kegiatan bongkar muat harus dilaksanakan oleh perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk itu.
Oleh sebab itu, Permenhub no. 152/2016 itu kemudian digugat PBM SDP di Jatim ke Mahkamah Agung (MA) untuk uji materi. “Kalau kami tidak melakukan gugatan Permenhub 152/2016 ini dapat mematikan para PBM. Sekarang saja, dari 145 PBM di Jatim yang beroperasi di pelabuhan, hanya tinggal 40-an yang aktif. Dan yang beroperasi itu, sebulan berkegiatan tiga kali saja sudah bagus,” kata Ketua DPW APBMI Jatim Kodi Lamahayu kepada Ocean Week, di pelabuhan Tanjung Perak.
Permenhub itu, ujar Kodi, sama saja memberi kesempatan luas kepada Pelindo untuk melakukan kegiatan dari hulu sampai hilir. “Kalau semua dikerjakan Pelindo, apakah kami hanya jadi penonton saja. APBMI Jatim nggak mau Pelindo mengerjakan dari hulu hingga hilir,” ungkapnya.
Padahal, ucap Kodi, Presiden Jokowi sering megatakan BUMN )Pelindo-red) jangan mengerjakan pekerjaan dari hulu sampai hilir. Namu, pesan presiden Jokowi tidak diindahkan oleh Pelindo.
Dia mencontohkan, sekarang ini kegiatan bongkar muat di Tanjung Perak seperti curah kering, kargo bag, besi, besi tua, curah cair, kontainer, sudah banyak yang diambil alih oleh Pelindo dari para PBM yang selama ini beroperasi disini.
“Makanya banyak PBM yang nganggur, dan kemudian merumahkan karyawannya,” ujarnya lagi.
Kodi menambahkan, padahal para PBM itu siap bekerjasama dengan pihak Pelindo dengan kontribusi yang disepakati. “Pelindo nggak usah bekerja bongkar muat, kami yang melaksanakan kerja, berapa kontribusinya kami siap saja. Bahkan kami siap berinvestasi peralatan,” tuturnya.
Kodi berharap, pemerintah merevisi Permenhub 152/2016, dan mengembalikan ke Permenhub 60 tahun 2016 tentang penyelenggaraan dan pengusahaan bongkar muat barang dari dan ke kapal.
Sementara itu, Kasir dari APBMI Gresik kepada Ocean Week menyatakan, bahwa sesuai Undang-undang 17/2008, Pelindo itu sebagai operator yang tugasnya menyiapkan fasilitas (penyedia jasa). “Tapi sekarang ini Pelindo bukan hanya sebagai penyedia jasa, namun juga sudah menjadi pengguna jasa. Kalau Pelindo sebagai penyedia dan pengguna jasa, apa itu tidak monopoli, terus kami para PBM bisa kerja dimana,” katanya per telpon.
Kasir juga berharap supaya pemerintah lebih bijaksana dalam hal ini, apalagi Kemenhub merupakan pembina para usaha PBM ini.
Dirjen Perhubungan Laut Tonny Budiono yang dikonfirmasi mengenai Permenhub 152/2016 ini menegaskan, bahwa BUP yang sudah memperoleh konsesi syah-syah saja melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan yang dioperasikannya. “Sekarang begini, contohnya kita punya rumah yang ada halamannya, lalu ada orang yang mau berkegiatan di halaman kita, kan tergantung kitanya boleh dan nggaknya, dan itu, masa yang punya rumah tidak boleh melakukan sesuatu di tempat sendiri,” katanya.
Jadi, ungkapnya, kalau Pelindo juga mengerjakan kegiatan bongkar muat di pelabuhan yang dioperasikan dan menjadi wilayahnya boleh-boleh saja, karena peraturan memang membolehkan. “Kalau sampai ada yang menggugat Permenhub 152, saya sangat menyayangkan,” ujarnya. (***)