PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) otomatis dapat melaksanakan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan yang dikuasainya, atau dioperasikannya. Hal itu sesuai dengan undang-undang maupun peraturan yang tertuang dalam Permenhub no. 152 tahun 2016 tentang penyelenggaraan dan Pengusahaan bongkar muat barang dari dan ke kapal.
“Karena Pelindo sebagai BUP, bisa saja melakukan kegiatan bongkar muat, apalagi kalau sudah memiliki pula badan hukum untuk PBM, akan semakin kuat untuk dapat melaksanakan aktivitas itu. Jadi syah-syah saja Pelindo melakukan bongkar muat,” kata Dirjen Hubla Antonius Tonny Budiono kepada Ocean Week, di Jakarta, Minggu (23/4) sebelum ceremony pelayaran perdana CMA CGM Otello, di Tanjung Priok.
Tonny menegaskan, kalau kegiatan bongkar muat yang dilakukan Pelindo mendapat protes dari PBM misalnya, itu dinilanya sebagai sesuatu yang kurang pas, dan tidak tepat. Karena Pelindo hanya menjalankan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Tonny juga mengibaratkan, seseorang yang memiliki rumah dengan halamannya, kemudian dihalaman rumahnya itu ada mengunakan fasilitasnya untuk berdagang, apakah pemilik rumah tidak punya hak untuk menegur atau membuat aturan. “Perumpamaan itu tidak jauh beda dengan di pelabuhan. Pelindo boleh saja membuat aturan di tempatnya sendiri,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan mengenai kontribusi yang diberikan oleh PBM kepada Pelindo dari kegiatan bongkar muat, apakah hal itu masuk kategori pungutan liar (Pungli), Dirjen Hubla menyatakan tidak ada pungli dalam hal itu, sebab didasari atas kesepakatan kedua belah pihak. “Bisa dibilang kesepakatan B2B, boleh saja,” ungkapnya.
Dirjen Tonny berharap semua pihak di pelabuhan dapat menciptakan suasana yang kondusif. “Kalau bisa PBM tetap bisa bekerja, bagaimana untuk itu, mesti ciptakan rasa kondusif, harmonisasi dengan operator pelabuhan,” tegas Tonny.
Seperti diketahui bahwa Permenhub Nomor PM 152 Tahun 2016 dinilai tidak menguntungkan bagi perusahaan bongkar muat (PBM) di Indonesia. Sebab, dalam Permenhub itu pada bab II pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang telah memperoleh konsesi dapat melakukan kegiatan bongkar muat tanpa harus memiliki ijin khusus untuk PBM.
Tetapi, dalam pasal yang lain menyebutkan BUP bisa melakukan kegiatan bongkar muat akan diatur melalui Peraturan Menteri.
Sekjen DPP Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Sahat Simatupang, pernah menyatakan akan minta supaya peraturan ini dapat ditinjau kembali.
Dalam Permenhub 152/2016 juga menyebutkan bahwa modal usaha PBM di pelabuhan utama minimal Rp 2 miliar, di pelabuhan pengumpul Rp 1,5 miliar, dan pelabuhan pengumpan rp 1 miliar. “Itu artinya tidak secara langsung, pemerintah akan mematikan usaha PBM secara pelan-pelan,” ujar Ketua APBMI Jawa Timur, Kody Lemahayu.
Beberapa pengusaha pelayaran yang juga memiliki PBM menilai, keluarnya Permenhub 152/2016 ini jangan sampai dijadikan alibi oleh PT Pelindo untuk memonopoli kegiatan di pelabuhan. “Kami juga minta agar peraturan-peraturan yang memberatkan usaha swasta ditinjau kembali atau direvisi. Misalnya PM 152/2016, PP no. 15 tahun 2016 tentang PNBP yang berlaku pada kementerian perhubungan, dan sebagainya,” katanya.
Dirjen Hubla sendiri juga tidak mau kalau Pelindo monopoli. “Yang jelas peraturan mesti diikuti, namun bagaimana sekali lagi menciptakan harmonisasi di pelabuhan,” pungkasnya. (***)